Part 82

115 22 22
                                    

Bye, Abi...! Assalamu’alaikum!”

Hafidz dengan berat hati membalas lambaian tangan mungil Hafla sembari menjawab salam dari putrinya.

Mobil online yang menjemput dua wanita kesayangannya untuk menuju bandara Halim Perdana Kusuma sudah datang sebelum ia berangkat ke kantor.

Di sebelah Hafla, nampak sang istri yang cantik dan ceria juga melambaikan tangan lengkap dengan senyum manisnya.

Sudah panjang kali lebar wejangan yang Hafidz pesankan pada Ersha agar berhati-hati dan selalu waspada.

Satu hal yang selalu ia tekankan adalah jangan pernah mematikan ponsel.
Hafidz sampai menyuruh istrinya membawa dua buah power bank miliknya agar tak ada alasan bagi Ersha untuk tidak mengaktifkan hp.

Dan saat mobil online yang ditumpangi Ersha dan Hafla menghilang di tikungan, ada rasa sepi yang tiba-tiba menyusup dalam sanubarinya.

Hafidz menghela napas panjang. Ia harus ridho. Kalau ia tak ridho, itu akan menghambat perjalanan Ersha dan Hafla.

Ersha sejak semalam sudah selalu menekankan pada Hafidz bahwa kepergian mereka berdua ke tempat Risna lebih kepada usaha dakwah.

Menguatkan Risna dari jarak jauh tentu tak bisa seleluasa bila bertemu langsung.

Pelukan yang erat lengkap dengan doa dan kata-kata penghiburan, saat ini itulah yang diperlukan Risna dari Ersha dan Hafla.
Membantu Risna agar selalu mengembalikan segala sesuatu yang sudah terjadi kepada yang menciptakan hal tersebut, itulah misi utama.

Ya Allah... mudahkanlah segala urusan istriku.” doanya dalam hati.

Sesudahnya, laki-laki muda yang tampan dan saleh itu melihat jam tangan dan bergegas menyiapkan diri untuk berangkat ke kantor.

Ia harus berusaha tetap menjaga mood bekerjanya agar tak rusak.
Toh, mereka hanya berpisah semalam saja. Sore ini pulang kerja, Hafidz akan menyusul sang istri dan putri kesayangan dengan kereta api karena tiket pesawat untuk besok sudah habis.

Jadi terlalu didramatisir lah kalau sekarang ia sangat merasa kehilangan. Sebagai pria, ia harus mengedepankan logikanya.

Sementara di taksi online, suasana begitu ceria. Ningsih melakukan panggilan video call dan Hafla senang sekali.

“Nanti nggak usah khawatir, ibu yang akan jemput kalian.”

Ersha tersenyum haru,”Kemarin kan Ibu sudah kirim alamat, kami bisa naik taksi, kok.”

“Jangan... sudah nanti ibu jemput, ya. Tadi ibu sudah japri Nak Hafidz untuk menginfokan hal ini. Ibu ndak mau Nak Hafidz khawatir.”

Sekali lagi Ersha mengangguk sambil tersenyum haru. Ia mengucapkan terima kasih. Keberangkatannya kali ini sama seperti kepergiannya ke Yogya beberapa bulan yang lalu.

Ersha dan Hafidz sama sekali tak mengeluarkan uang sepeser pun. Semua dibiayai oleh Sugianto, dan kali ini Ningsih yang meng-cover seluruh akomodasi.

Ia hanya perlu menyiapkan mental saja untuk membantu meredakan kesedihan dan kemarahan yang sedang melanda hati Risna.

“Dek Afa sukanya maem apa? Biar dimasakin nih sama Mbak yang masak di sini.” Suara Ningsih terdengar lagi.

Mata Hafla berbinar,”Afa suka makan apa saja, Eyang.”

“Mau nyoba rujak cingur, ndak?” goda wanita paruh baya itu.

Mata Hafla membulat,”Moncong sapi? Oh, no..!” teriaknya geli.

Ningsih tertawa. Ersha pun ikut tertawa sambil mengusap puncak kerudung putrinya.

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang