Part 87

124 22 14
                                    

Hafidz membuka koper milik Ersha dan mengeluarkan sebuah gamis. Sesudahnya, ia menutup kembali koper berwarna hitam itu kemudian keningnya mengerut menatap istrinya yang nampak melamun.
Hafidz segera berjalan mendekat dan duduk di sisi Ersha.

“Nda, melamun? Ini abi sudah ambilkan gamisnya. Abi bantu bersih-bersih, ya?”

Ersha tersentak,”Eh, nggak usah kali, Mas. Echa bisa sendiri.”

“Beneran? Abi aja yang nggak kena peluru nyasar rasanya ngilu, Nda.”

Ersha tersenyum sambil sedikit meringis,”Cuma sakit sedikit, kok.” jawabnya sambil meraih gamis yang dibawakan Hafidz padanya.

Wanita itu berjalan menuju kamar mandi dan masuk. Hafidz menghela napas panjang. Netranya mencari ponsel yang sejak tadi ia tinggal.

Oh, ada di bufet kecil depan tempat tidur. Hafidz berdiri dan berjalan menuju bufet kemudian meraih android miliknya. Dibukanya dengan sekali usap. Keningnya mengerut melihat panggilan masuk dari Sugianto dan Siska yang begitu banyak.

Senyum sendunya tersungging. Pasti mereka sudah mendapat kabar dari orang suruhan Sugianto yang tadi menelpon Hartono mengabari kalau Ferdy datang.

Hafidz menghela napas panjang sambil kembali menuju ranjang. Tapi terdengar suara Ersha dari balik pintu kamar mandi.

“Mas, ternyata Echa nggak bisa buka baju sendiri...,” lirihnya sambil tersenyum malu.

Hafidz menoleh,”Hehehe... apa abi bilang...? Nda nggak percaya, sih!” godanya sambil meletakkan ponsel dan berjalan bergegas memasuki kamar mandi dan menutup pintu.

“Abi... Nda... boleh Afa masuk?” Terdengar suara imut Hafla di luar kamar bersamaan dengan suara ketukan pintu, lalu pintu terbuka.

Kening bocah mungil itu mengerut. Kok tak ada siapa-siapa? Ia tadi yakin sekali saat salat sempat mencuri lihat abi dan bundanya berjalan memasuki kamar.
Ia sudah ingin berlari saja rasanya, tapi berusaha bersabar menyelesaikan salat hingga selesai.

Di dalam kamar mandi, Hafidz dan Ersha saling berpandangan tegang. Gamis sang istri yang sudah Hafidz buka resletingnya, segera ia tutup dan membantu Ersha mengenakan kembali kerudungnya.

Namun saat Hafidz akan membuka pintu kamar mandi, Ersha menahan sambil meletakkan telujuk kirinya di bibir.  Hafidz menahan napas. Wajah pria muda itu tegang sekali.
Sayup-sayup terdengar suara Ningsih.

“Sayang... ayo kita mulai saja bakar sosis sama baksonya. Abi sama bunda mungkin sedang mandi.”

Hafla menoleh. Ia agak penasaran ingin memastikan apa benar yang dikatakan Ningsih, tapi tangan mungilnya sudah dipandu untuk menutup pintu lagi.

Wanita paruh baya itu menggandengnya menuju taman samping. Netra Hafla menatap Risna dan Hartono, keduanya terlihat tegang. Ada apa, ya? Ia jadi bingung.

Hafidz dan Ersha yang mendengar suara pintu kamar yang kembali tertutup akhirnya bisa bernapas lega.

Di ruang tengah, para pegawai nampak berpamitan pada Ningsih usai salat Magrib, Ningsih menyilakan sambil langkahnya tetap berjalan menuju teras samping.

Di belakang Ningsih dan Hafla, Hartono dan Risna berjalan berdampingan dalam diam. Mereka khawatir Hafla akan mengetahui soal apa yang sudah terjadi pada Ersha sore tadi.

“Let...”

Hartono tersentak kemudian menoleh.

“Aku takut.” bisik Risna galau.

Hartono tersenyum,”Semoga semua baik-baik saja...” bisiknya lembut.

Risna menghela napas panjang. Kepalanya mengangguk. Gadis itu melihat Hartono berjalan mendahului Hafla menuju tempat pemanggang dan mulai memanaskan alat tersebut.

Lillaah..!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang