Take Me To His Arms

9.9K 1.3K 243
                                    

Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku jadi seperti ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku jadi seperti ini?

Astaga! Aku malu sekali.

Aku merangkak ke tempat tidur, sebisa mungkin nggak mendekati jendela. Andro melihatku. Dia pasti tahu aku yang mengumpat tadi. Apa yang dia pikirkan? Apa dia berpikiran buruk? Apa dia jadi malas padaku?

Kenapa, sih, aku sampai begini? Belum pernah aku dengan sengaja mengumpat orang yang tidak berhubungan apa-apa denganku. Apa masalahnya cewek itu? Dia cuma mendekati Andro saja.

Mendekati Andro?

Astaga! Bagaimana kalau Andro tertarik padanya? Bagaimana kalau ternyata Andro sudah bosan padaku dan memilih cewek lain yang lebih segar? Aku jauh lebih tua darinya. Aku tidak pernah sekalipun memakai skincare. Bisa jadi kulitku tidak selembut kulit cewek-cewek muda itu. Tubuhku juga tidak seindah cewek-cewek itu.

Lihat saja wajahku di cermin! Aku babak belur karena ulah Mas Roni. Tubuhku ceking dengan kaus kebesaran yang menggantung tanpa semangat di bahuku. Rambutku kering dengan potonganku sendiri yang sama sekali tidak modis. Apa yang menarik dariku? Apa yang membuat Andro menungguku di depan jendelanya?

Aku masih belum berani mendekati jendela kamarku sampai selesai makan malam. Kutolak permintaan Patih untuk menemaniku di kamar. Kuhargai kebaikannya yang khawatir aku mengalami trauma setelah peristiwa dengan papanya. Namun, aku lebih suka sendirian, tenang di dalam selimutku sendiri.

"Mama cuma ingin tidur tenang. Mama ingin melupakan semua masalah Mama dan tidur. Siapa tahu nanti pas bangun semua sudah hilang. Kita nggak perlu memikirkan apa-apa lagi," ucapku dengan harapan dia mengerti maksudku.

Dari ekspresinya, kelihatannya dia mengerti, tapi sepertinya dia nggak setuju dengan keputusanku ini. Dia menghela napas dalam-dalam seperti orang yang memikirkan terlalu banyak beban. Aku tidak enak melihatnya seperti itu. Dia masih SD. Tidak seharusnya dia memikirkan hal-hal yang terlalu berat. Seharusnya, kan, aku yang menghiburnya.

"Patih," panggilku sambik meraih tangannya. "Kamu kenapa?"

Dia membuatku terkejut dengan tatapan sedihnya. Dia lebih mirip bapak-bapak yang melihat anaknya berbuat kurang ajar; ingin memarahi, tapi terlalu sayang pada anak itu sampai tidak bisa marah. Tatapan itu yang kupikir selalu kuberikan padanya saat dia berbuat salah. Saat ini, mendapatkan tatapan seperti itu darinya membuatku seperti orangtua yang ... payah.

"Patih, jangan lihat Mama kayak gitu," protesku tanpa menutupi perasaanku. "Jangan buat Mama lebih sedih lagi dengan memberikan ekspresi kayak gitu."

"Aku nggak niat bikin Mama sedih."

"Tapi ekspresi kamu itu seolah Mama ini bersalah banget." Kulepaskan tangannya. "Apa kamu memang berpikir begitu? Apa kamu pikir Mama yang salah atas semua ini? Kamu pikir Mama yang bikin keluarga kita jadi begini? Iya. Memang Mama yang salah. Mama yang bikin Papa nggak betah di rumah. MAMA YANG MEMANG PANTAS DISALAHKAN."

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang