Demi Patih. Demi Patih. Demi Patih.
Berulang-ulang aku berusaha menggemakan kalimat ini di dadaku. Aku ingin mendapatkan motivasi terbesar untuk mendongkrak kekuatanku. Semua yang kulakukan ini demi Patih. Tidak bisa tidak. Ini demi anak yang kucintai. Aku tidak boleh berhubungan dengan Andro. Jika aku mendekat, pasti akan ada hal buruk yang terjadi. Kami nggak bisa hanya sekadar ngobrol atau jalan bareng tanpa melakukan apa-apa. Baru melihatnya tadi saja aku sudah bisa merasakan celana dalamku basah. Nggak, deh. Pokoknya nggak.
Kubuang jauh-jauh Andro dari dalam kepalaku. Kembali aku berkonsentrasi pada jalanan yang agak macet siang ini. Ah, tidak. Jakarta hampir selalu macet menjelang jam makan siang begini, hingga mencapai puncak pada jam makan siang dan pulang kerja. Mungkin, jika semua areal di Jakarta diubah jadi jalanan semua baru bisa menampung kendaraan tanpa hambatan macet, ya?
Dulu aku pernah berdiskusi tentang ini bersama Mas Roni. Waktu itu kami sedang menonton berita nasional tentang kemacetan saat liburan. Aku berkata pada Mas Roni, "Ini alasan aku malas ke mana-mana. Senangnya sedikit, capek di jalannya banyak."
"Kamu itu nggak seru, May. Di mana-mana orang itu jalan-jalan kalau liburan, melepaskan penat. Piknik. Kamu di rumah aja! Apa nggak bosan?" Mas Roni mencibir. "Aku yang kerja di luar rumah aja bosan lihat rumah begini-begini aja, May."
Aku menggeleng sambil mengingat-ingat apa aku pernah bosan berada di rumah. Baik di rumah orangtuaku atau di rumah ini, sekalipun aku tidak pernah bosan dengan rumah. "Kayaknya aku belum pernah bosan di rumah, Mas. Banyak yang bisa dilakukan di rumah. Rumah ini juga aman dan nggak panas. Menurutku, sempurna. Kamu, aku, Patih. Sudah cukup. Aku nggak butuh apa-apa lagi."
Dia mendengkus keras, lalu membanting punggung ke kursi. "Aku nggak ngerti kenapa bisa ada orang kayak kamu, May. Susah betul diajak keluar. Maunya di rumah aja, di kamar aja. Aku lho lihat kamu aja bosan. Itu-itu aja yang dilakukan."
Saat itu aku cuma membalasnya dengan tawa hambar. "Kenapa, Mas?" Aku bersandar pada punggung sofa. "Kenapa rumah nggak cukup buatmu? Kenapa hidup yang bahagia di sini nggak bikin kamu puas?"
Ya. Kenapa, Mas? Kenapa berat banget untukmu? Bukankah hidup kita hampir tanpa masalah?
Aku tidak pernah menentang dia. Aku tidak pernah pergi-pergi seperti istri lain atau berjoget tiktok seperti banyak ibu-ibu memalukan lain yang rela berjoget di tengah jalan perumahan. Bukankah dia seharusnya senang aku tidak ke mana-mana? Walau tidak bisa kupungkiri, sekalipun di rumah aku tetap berselingkuh.
Ah, May. Bukan cuma Mas Roni yang menghancurkan kapal karammu sekarang. Kamu sendiri juga punya andil dalam proses penghancuran itu, bahkan sampai Patih pun tahu. Seharusnya kamu malu kalau sampai menimpakan semua kesalahan pada Roni, May.
Seharusnya aku memang tahu diri.
Suara klakson keras. Aku terlonjak. Motorku oleng. Untung saja kakiku bisa segera menyeimbangkan. Ternyata aku melamun. Aku ada di jalur cepat dengan kecepatan siput. Buru-buru aku pindah ke kiri, membiarkan mobil biru di belakangku melaju mendahuluiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...