Malam itu aku tidak tidur sepicing pun. Aku tidak menangis juga. Aku cuma berbaring menatap langit-langit dengan kepala kosong. Seluruh tubuhku terasa dingin walau sudah memakai celana panjang dan selimut tebal. Aku tahu dari mana rasa dingin itu berasal.
Rasa sakit di pipi dan kepala dari pukulan Mas Roni terasa lebih mengerikan pada jam dua dini hari. Aku beranjak ke kotak obat mencari obat penghilang nyeri yang sepertinya masih tersisa dua butir. Aku menelan satu drngan sisa air putih dalam gelas besar di samping laptop. Sebenarnya aku ingin minum lebih banyak, tapi aku tidak ingin keluar kamar dan melihat wajah Mas Roni dulu.
Mas Roni tidur di luar, di depan TV dengan kasur kecil seperti biasa. Karena marah dan mungkin otaknya tertinggal di selangkangan perempuan itu, sebelum tidur tadi dia menyalakan TV sampai ke volume yang bisa memekakkan telinga. Entah di dalam pikirannya ada Patih yang akan sekolah atau tidak. Aku sudah berusaha menyuruhnya mengecilkan suara TV itu, tapi tidak juga dia gubris. Patih yang marah-marah protes karena akan ada ulangan juga malah dibentak. Patih cuma bisa menangis dari dalam kamarnya.
Jam dua belas dia mengirimiku pesan WA: Papa kenapa, Ma? Aku besok bisa kesiangan.
Aku hanya bisa menulis: Sabar, Nak. Besok kita ke rumah nenek.
Tekatku sudah bulat. Aku tidak bisa membiarkan nilai Patih anjlok karena drama konyol Mas Roni. Anak itu sangat mudah menjadi tidak percaya diri. Kalau nilainya sampai buruk, aku khawatir dia jadi semakin sedih. Semoga di rumah orangtuaku nanti dia akan mendapat ketenangan untuk belajar.
Tapi, sebelum aku membereskan barangku, Mas Roni lebih dulu menyeret kopernya. Dia mengeluarkan semua baju dan celana dalam dari lemari. Caranya memasukkan baju-baju itu ke koper seperti sedang marah. Dia memang sedang marah. Dia membanting baju-baju itu seperti sedang menunjukkan padaku dan meyakinkanku kalau kepergiannya karena emosi.
Aku terkejut mengetahui hatiku tidak merasa sakit. Aku hanya melihatnya dari tempatku tidur seolah melihat hal yang sering terjadi setiap hari. Tidak ada yang istimewa. Aku tidak merasa kehilangan.
Apa aku sudah tidak menginginkannya lagi? Apa ini yang membuatku tidak sedih saat dia memutuskan pergi?
Aku bergerak di tempat tidur, mengambil posisi menyamping agar bisa melihatnya sambil memeluk guling. Yang kurasakan cuma satu, ingin tidur agar tidurku lebih puas. Mungkin, setelah dia pergi, aku bisa membuat mi instan porsi jumbo dengan sayuran dan telor ceplok. Setelah itu, aku akan menonton film sampai ketiduran.
Dia melihatku, menantang mataku. Setelah membuang tumpukan celana, dia berkacak pinggang, menunjukkan kalau dia berkuasa di sini. Dialah pemenangnya.
"Aku sudah muak tinggal sama kamu. Perempuan nggak becus merawat suami. Pantas kamu nggak punya teman, nggak mau didekati keluarga. Nggak salah orangtuaku nggak suka sama kamu."
Lagi-lagi aku tidak merasa sakit hati sama sekali. Aku berbaring telentang, memeluk guling di atas tubuhku. Rasa guling ini dingin, seperti menahanku untuk tidur lebih panjang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...