Make it Out

12K 1.5K 230
                                    

Sudah kubilang, aku tidak pernah berhubungan dengan polisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah kubilang, aku tidak pernah berhubungan dengan polisi. Sebisa mungkin aku malah menghindari urusan dengan polisi. Entah kenapa berhubungan dengan petugas berseragam, apalagi dengan senjata lengkap ini membuatku takut. Mungkin, karena Mama sering menakutiku sejak kecil. Mungkin juga karena aku terlalu sering menonton film di mana polisinya menembak penjahat sampai meninggal. Jadi, yang ada di otakku hanya kematian saat berhubungan dengan polisi. Sepanjang jalan, sejak turun dari mobil, aku menggandeng tangan Patih terus. Walah mulutku berkata, "Pegang Mama. Nanti kamu salah jalan," tapi sebenarnya akulah yang ketakutan. Aku yang butuh ditenangkan.

Sisi baiknya, Andro menghentikan mobilnya di seberang kantor polisi. Dia diam saja di dalam mobil itu, entah memang sengaja tidak ingin menampakkan diri atau sama denganku, takut pada polisi.

Aku iri sekali pada Karin. Walau kostumnya menurut beberapa orang yang sepemikiran dengan Mas Roni terlalu ekstrim, dia sama sekali nggak minder atau lantas membuat jarak dengan orang lain. Karin tetap tersenyum ceria dan menyapa orang-orang dengan sewajarnya. Dia berkomunikasi dengan baik sampai membuat orang yang baru mengenalnya jadi terlihat menyukainya.

"Tante Karin itu orangnya seperti kucing, ramah sama siapa aja, tapi bisa nyakar juga," komentar Patih yang dibisikkannya padaku.

Aku sangat setuju padanya. Sangat. Karin seperti kucing persia yang tidak mempermasalahkan dengan siapa dia bergaul. Bahkan dia tidak mau dipanggil "ustadzah" seperti panggilan biasa yang disematkan pada istri-istri Ustadz.

"Mulut lu enteng amat manggil gue ustadzah. Yang ustadz laki gue. Gue mah emak-emak biasa. Kagak usah pakai embel-embel segala," katanya saat pertama kali kami bertemu dulu.

Aku mengagumi segalanya dari Karin yang tidak kumiliki, bahkan suami yang begitu mencintainya. Banyak yang berjata kalau suaminya dulu miskin sekali sampai pernah jadi buruh bangunan sambil sekolah. Tapi, siapa peduli? Mereka bahagia sekarang. Hidup mereka sempurna. Kemampanan hidup sama sekali tidak menjamin kedewasaan seseorang.

Karin kembali padaku setelah berbicara dengan seorang lelaki bertubuh tegap dengan kumis mirip sisir yang seperti muncul begitu saja dari dalam hidungnya. Wajahnya cerah, kemungkinan dia berhasil bertemu dengan kapolres seperti yang dijanjikannya.

"Ayo, udah ditunggu sama bapaknya," katanya sambil mengulurkan tangan untukku.

"Aku di sini aja?" tanya Patih pada Karin.

"Lu maunya gimana? Kalau lu emang pengin ikut, ya ikut aja. Kagak ada larangan kok buat anak kecil. Cuma, entar lu kudu ngerti kalau emak lu cerita soal bapak lu."

Patih mengangguk.

"Apa nggak sebaiknya kamu nunggu di sini aja?" tanyaku pada Patih.

Dia menggeleng. "Ma, aku bisa kok jagain Mama. Aku juga bisa bantu jelasin ke pak polisinya tentang Mama. Siapa tahu Mama butuh diingetim soal apa gitu. Kan Mama suka lupa."

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang