Patih pulang saat anak-anak itu membereskan sepedanya dan pergi dari rumah. Dia melihat anak-anak itu debgan heran, lalu melihatku dengan heran juga. "Ngapain mereka di sini, Ma?" tanyanya dengan nada biasa seolah perdebatan antara kami pagi tadi tidak pernah ada. Kuharap memang dia menganggap seperti itu. Aku tidak ingin kami ribut lagi.
"Mama bagiin muffin buat mereka," kataku sambil mengangkat bahu. "Yang buat kamu juga masih ada, kok. Tuh, di dalam." Aku menelengkan kepala ke bagian dalam rumah.
Andro keluar dari rumah untuk memasukkan mobil yang terparkir di depan rumahnya. Ketika menutup pagar lagi, dia melihat kami, tersenyum dan melambai pada kami. Aku dan Patih tidak menjawab. Aku malah berpaling, masuk ke rumah agar tidak lama-lama melihatnya. Jangan sampai aku membuat masalah baru dengan Patih.
Patih masih cukup diam sore ini. Walau begitu, dia menjelaskan dengan baik apa yang dia lakukan sampai harus pulang sore sambil menggigiti pinggiran muffin sedikit-sedikit. "Aku ke rumahnya Alif tadi. Itu temanku yang rumahnya di dekat sekolah. Mamanya baru beliin dia PS5. Aku nyoba main sama dia."
"Kenapa nggak bilang dulu?" tanyaku sambil melipat jemuran.
"Khilaf, Ma. Namanya juga main. Mana bisa main sambil ingat rumah." Dia merengut, memendekkan leher sampai dagunya dekat sekali dengan leher. "Terus, tadi aku juga ngobrol sama mamanya Alif. Dia lihat video Mama dipukul sama Nenek. Dia nanya gimana kok bisa Nenek kayak gitu. Aku jelasin deh biar nggak jadi fitnah. Terus Mamanya Alif bilang, kalau emang Mama nggak boleh tinggal di sini lagi, boleh kok Mama tinggal di rumah kontrakannya Mama Alif. Rumahnya lagi kosong. Kalau emang belum sanggup bayar, bulan pertama dikasih gratis. Entar Mama tinggal bayar listrik sama air."
Sepanjang dia menceritakan pertemyannya dengan Mama Alif, aku berhenti mengerjakan kegiatanku. Aku sibuk melihat wajahnya yang bercerita tanpa melihatku. Bisa-bisanya dia memikirkanku seperti itu. Sebenarnya aku marah padanya karena menceritakan masalah keluarga pada orang lain, tapi pada sisi lain dia tidak menceritakannya tanpa tujuan. Dia tahu yang dilakukannya.
"Kok Mama Alif baik banget?" tanyaku menahan luapan berbagai rasa dalam hatiku.
"Mamanya Alif dulu punya suami yang jahat juga. Dia dipukul juga. Mertuanya jahat juga. Alif aja sering dipukul neneknya. Terus, suaminya sakit. Mama Alif yang kerja dan akhirnya sekarang terbalik Mama Alif jadi kaya. Suami Mama Alif cuma tidur di rumah aja, nggak bisa ke mana-mana lagi."
"Suaminya masih jahat?"
"Gimana mau jahat, makan aja harus pakai selang."
"Kok bisa? Sakit apa?"
"Susah, Ma, nama penyakitnya. Pokoknya limfa apa pankreasnya kenapa gitu tadi. Papanya Alif suka minum bir, nggak suka minum air putih, terus suka jajan gorengan-gorengan di pinggir jalan gitu, Ma. Pas diperiksa dikira maag, ternyata apanya gitu bengkak udah infeksi parah." Suaranya makin lama makin mengecil, lalu dia tertunduk lebih dalam, memainkan kertas pembungkus muffinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...