Sewaktu masih sekolah, aku melihat anak-anak yang berlatih bela diri dipukuli setiap hari. Mereka berbaris dalam barisan rapi untuk ditendangi satu per satu oleh pelatih. Mereka harus menahan tendangan dengan kuda-kuda yang kuat. Kata teman-temanku yang berlatih beladiri, mereka perlu latihan itu untuk berlatih menahan serangan dan agar mereka terbiasa dengan pukulan.
Kata salah seorang anak, "orang berantem nggak mungkin menang terus. Pasti ada kalahnya atau pas kena pukulan. Kalau mentalnya nggak dilatih, sehebat apa pun tekniknya, begitu kena pukulan, dia bakalan langsung K.O. Kalau sering dilatih gini, bisa jadi kebas nanti. Terbiasa mau dipukul gimana juga."
Pada kali lain, mereka bertahan untuk menghindari serangan. Pukulan dan tendangan diberikan bertubi-tubi agar mereka tahu bagaimana cara bertahan. Mereka juga harus tahu saat mengambil keputusan harus menghindar atau bertahan. Keputusan ini harus diambil dengan tepat.
Saat itu aku menganggap mereka keren. Aku sangat ingin ikut bela diri sepulang sekolah seperti mereka, tapi terlalu pengecut untuk menghadapi pukulan atau bahkan memukul orang. Aku terlalu takut berdarah dan ditanya-tanya orang tuaku. Jadi, yang kulakukan hanya menonton dari jauh, berusaha menghafal setiap gerakan dan mengarang-ngarang sendiri teorinya di dalam kepala. Sesekali, kutuliskan yang kudapat dalam buku harian agar aku bisa mempelajari teori itu sebagai falsafah kehidupan. Aku belajar jadi kuat dan berani menghadapi orang dengan kata-kata yang kutulis sendiri. Prestasi terbesarku saat bisa menolak adikku memaksaku memberikan uang sakuku karena dia kehabisan. Untuk pertama kali dalam hidup, dengan tegas aku menolaknya.
Sayangnya, seiring waktu berlalu, aku melupakan semua dan kembali ke sifat asalku, pengecut. Aku menghindari pukulan dan tantangan hidup. Aku melakukan apa saja agar tetap berada di jalan yang menurutku aman, sekalipun itu berarti tidak terlihat atau tidak berkembang. Kupikir, tidak berkembang itu lebih baik daripada menghadapi terpaan masalah.
Sekarang aku heran, kenapa aku harus menghadapi semua ini? Kenapa aku harus menghadapi pukulan dan masalah yang seperti tidak habis? Kenapa aku malah menantang maut dengan mencoba lari darinya? Kenapa aku tidak diam saja, memaafkan semua kesalahan suamiku agar rumah tangga kami baik-baik saja? Kenapa aku harus melawan dan merencanakan pelarian?
Bukankah aku seharusnya tetap berada di jalan yang aman? Kenapa aku sampai tahu tentang Cica? Kenapa aku tidak pura-pura tidak tahu saja?
Membiarkannya berbohong selamanya jauh lebih aman daripada yang sekarang terjadi. Kami mungkin akan baik-baik saja selamanya. Patih tidak perlu begini dan aku juga tidak perlu merasakan semua ini. Mas Roni mungkin akan tetap sama seperti dulu, memperlakukanku dengan biasa saja.
Ya, biasa saja. Itu sudah cukup untukku. Tidak berlebihan dan tidak membahagiakan, tapi aman. Aku tidak sengsara begini.
Mas Roni benar, seharusnya aku tahu sampai mana kekuranganku. Seharusnya aku tahu kalau aku ini goblok. Aku ini tidak bisa apa-apa. Bukankah dulu Mama dan Papa sering mengatakan begitu? Aku seharusnya ingat. Semua yang kulakukan salah. Aku cuma anak biasa yang tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...