Take Away My Life

7.4K 1.1K 129
                                    

Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku? Kenapa masalah datang terus-menerus tanpa mengizinkanku bernapas? Baru kemarin aku dan Patih memutuskan untuk memulai hiduo baru di tempat baru dan membuang semua ini, sekarang orang paling beracun dalam ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupku? Kenapa masalah datang terus-menerus tanpa mengizinkanku bernapas? Baru kemarin aku dan Patih memutuskan untuk memulai hiduo baru di tempat baru dan membuang semua ini, sekarang orang paling beracun dalam hidupku malah kembali.

Aku tidak perlu membuka kunci pintu. Dia sudah memegangnya. Setelah cukup lama saling dorong pintu, dia menendang pintu itu sampai aku terpental ke lantai. Dia masuk dengan bersenandung pelan seolah tidak ada apa-apa di antara kami. Dia mengunci pintu di belakangnya, lalu menghampiriku, mengulurkan tangan. "Kamu itu nggak pernah belajar, May. Kamu nggak pernah mikir kalau kamu itu nggak bisa apa-apa. Mau ngapain kamu sekarang? Ngelawan aku? Aku ini suamimu."

"Mas sudah pergi dari rumah dan bilang kalau aku buakn istri Mas lagi," protesku mengingatkannya pada yang dilakukannya waktu itu.

Dia menunduk, meniadakan jarak di antara kami. "Itu baru talak satu. Aku punya hak buat kembali kapan pun aku mau. Tanya sama perek berjilbab itu kalau kamu nggak percaya. Aku masih punya hak atas kamu. Semuanya," bisiknya dengan suara datar yang tenang seperti saat sedang menjelaskan sesuatu pada anak kecil. Padahal, Mas Roni tidak pernah menjelaskan apa pun pada anaknya dengan suara selembut itu.

"A-ku mau ngajuin cerai, Mas. Aku sudah ngumpulin berkas."

"Aku yang nentukan kita cerai atau nggak."

"Aku punya hak. Atas semua kelakuanmu--"

Dia menarik pipiku, menjepit pipiku di antara jarinya. "Mau gimana juga, aku suami di rumah ini, May. Aku yang memimpin kamu sama Patih. Kalau aku sampai nggak betah di sini, itu karena kamu goblog. Kamu nggak bisa jadi istri yang baik. Harusnya kamu nurut apa kataku. Seharusnya kamu bisa diatur. Masa ustadzmu yang pincang itu nggak ngerti, hah? Apa dia nggak bisa ngasih tahu kamu gimana hukumnya jadi istri?"

Aku memberontak, berusaha melepaskan wajahku dari tangannya. Dengan cepat aku beringsut mundur, jauh dari jangkauannya. Dia sudah pernah menghajarku sekali. Tidak akan kubiarkan dia melakukan itu lagi padaku.

"Kenapa kamu pulang? Apa perekmu sudah nggak bisa ngasih kamu kepuasan? Apa kamu sudah bosan sama dia?"

"Masih. Dia masih ada. Aku cuma mau pulang ke rumahku." Dia menekankan kata "rumahku" seolah ini hanya miliknya, tidak ada aku yang juga patut diperhitungkan sebagai bagian dari rumah ini.

Aku mundur sambil memikirkan langkah apa yang bisa kuambil dari kekacauan ini. Aku mencoba memikirkan caranya keluar dari rumah ini. Pintu depan ada di belakangnya. Aku jelas tidak akanb bisa ke sana. Pilihan satu-satunya adalah ke dapur. Aku bisa kabur lewat pintu belakang, lalu melompati tembok dan lari ke rumah tetangga. Dari sana aku bisa menghubungi seseorang. Aku mungkin bisa menghubungi orang dari kepolisian.

Kalau memang orang dari kepolisian itu bisa melindungiku, kenapa mereka melepaskan Mas Roni? Bukankah semua bukti sudah jelas? Bukankah seharusnya Mas Roni mendapatkan hukuman penjara sampai persidangan nanti? Apa mereka menemukan sesuatu yang membuat mereka membatalkan hukuman buat Mas Roni? Apa keluarga Mas Roni memberikan sogokan yang besar pada polisi dengan level lebih tinggi dari temannya Karin?

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang