Aku mencoba untuk mengingat-ingat lagi, kapan aku pernah bahagia. Rasanya, bahagia itu jauh sekali sekarang. Aku hampir tidak bisa merasakan sentuhan hangat kebahagiaan lagi dalam diriku. Selain rasa sakit, malu, dan kesal pada segalanya, yang bisa kurasakan hanya perih, bukan hanya pada kemaluan, tapi juga di dalam dadaku.
Mas Roni gelap mata. Dia menendang anak yang berdiri di belakangnya itu sampai terjatuh menabrak lemari bawah tangga. Tanpa berkata apa-apa, dia kembali padaku, mendorongku sampai kembali menabrak lantai, menyelesaikan urusannya atas tubuhku.
Kalau bisa menjerit pun untuk apa? Tidak akan ada yang peduli. Aku hanya sedang disetubuhi suamiku.
Siapa yang mau percaya kalau kukatakan suamiku memperkosaku dan menyakiti anaknya sendiri?
Ini sudah biasa. Yang seperti ini sudah terjadi pada banyak rumah tangga. Aku saja yang kurang sabar dalam menghadapinya.
Setelah selesai, dia beranjak dari tubuhku, langsung menuju kamar mandi. Aku menggeliat, mencari Patih siapa tahu dia masih di sini.
Untung saja dia mengikuti perintah ayahnya untuk masuk ke kamar. Dia tidak perlu melihatku dalam keadaan seperti ini.
Dengan susah payah, aku berhasil duduk bersandar di tembok. Kupakai lagi celana dan bajuku dengan pelan. Sakit di kepala, tubuh dan selangkangan membuatku harus merintih setiap bergerak. Bahkan gerakan kecil saja rasa sakitnya seperti ada pisau yang tertinggal di kemaluanku. Sungguh, aku sampai berpikir untuk mengompres kemaluanku dengan es batu karena rasanya panas jika kedua kaki ini kurapatkan. Aku tidak tahu itu benar atau tidak. Karena khawatir membuat lebih banyak masalah, aku memilih untuk tidak melakukannya.
Air putih terasa pahit di tenggorokanku. Padahal tadi kubayangkan akan merasakan segarnya air setelah berusaha berjalan sejauh ini ke dapur. Napasku juga panas, sama seperti kedua mataku.
"Mandi sana! Ganti baju!" Mas Roni mengejutkanku karena tiba-tiba berdiri di depan pintu dapur dengan hanya memakai handuk. "Kita ke rumah orang tuamu."
Dalam keadaan begini? Dia pikir aku ini sapi?
"Nggak, Mas. Aku masih sakit."
"Sakit? Sakit apa kamu?" katanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
"Lupa? Yang tadi ngelayani kamu itu siapa, Mas?"
"Baru gitu doang, May. Kamu enak juga, kan?"
"Siapa yang bisa enak kalau diperlakukan begitu? Kamu terbiasa ngumpulin sundal makanya kamu begitu kasarnya."
Seharusnya kujaga mulutku. Seharusnya kutahan amarahku. Seharusnya aku ingat kalau lelaki yang sedang marah sebaiknya tidak perlu dilawan. Kenapa aku tidak ingat?
Roni menamparku, keras sekali. Pukulannya kali ini benar-benar membuatku tidak bsia melihat jelas. Aku jatuh terduduk di depan meja dapur dengan kenapa seperti sudah terlepas dari tempatnya. Untuk bernapas saja aku berusaha mati-matian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...