Kenapa anak-anak sekarang jadi lebih pintar dari anak zaman dulu? Rasanya, belum pernah ada anak-anak pada zamanku yang bisa atau berani mengkritik orangtua. Jangankan mengkritik, menjawab omongan orangtua saja bisa mendapat tamparan keras di pipi atau untuk orangtua yang lebih keras, sabetan rotan. Untung saja orangtuaku tidak melakukan keduanya. Papa lebih suka ikat pinggang yang selalu dipakainya ke mana-mana. Kapan pun dia butuhkan, benda itu akan selalu tersedia.
Untuk anak pendiam seperti aku, hukuman bisa minimalis. Aku hanya akan mendapat sabetan saat melakukan kesalahan. Anak-anak yang ceriwis dan memiliki jiwa pemberontak bisa mendapat hukuman lebih banyak. Teman sekelasku dulu setiap hari Senin selalu ke sekolah dengan pipi merah dan kaki yang lecet. Itu hadiah karena dia mojok setiap Sabtu malam. Setiap pulang dari acara mojok itu juga dia mendapat makian dan pukulan dari orangtuanya lantaran pacarnya berbeda agama. Namun, dasarnya cinta, sampai kacamatanya diinjak dan mata sipitnya bernoda darah pun dia tetap memilih kabur pada Jumat atau Sabtu malam menemui lelaki yang bekerja sebagai petugas keamanan rumah sakit. Mereka tidak melakukan apa-apa katanya, hanya duduk di warung bakso sambil bercerita tentang keseharian saja.
Dulu, aku memberi komentar miring atas curhatan temanku itu. Kukatakan padanya, "buat apa kamu pertahanin hubungan yang nggak jelas masa depannya? Kalian beda agama dan nggak direstui orangtua. Apa lagi yang kalian harapkan? Apa kamu mau babak belur begini seumur hidup?"
Dia cuma meringis mendengar komentarku yang sok tahu itu. Minggu depannya dia ke sekolah dengan bibir bawah bengkak. Ada darah kering di permukaannya. Tidak bisa kubayangkan bagaimana rasanya dia berbicara atau makan dengan bibir seperti itu. Sebelum aku mengatakan apa-apa, dia berkata, "jangan bilang aku belum nyoba ninggalin dia, May. Aku sudah nyoba putusan. Dia juga sudah nyoba menjauh. Tapi nggak bisa, May. Sesak di dalam dada ini setiap ingat dia. Apalagi aku tahu dia juga mikirin aku. Kalau dia benci aku, mungkin aku nggak akan segininya sama dia."
Aku berusaha mengerti karena dia temanku. Di antara banyak anak di sekolah ini, dialah yang banyak berbicara denganku, menemaniku. Sayangnya, aku tidak bisa mengerti kenapa dia tidak bisa berhenti mencintai pacarnya. Bukannya ada cara paling gampang untuk melupakan? Tinggal diam saja di rumah, tidak usah lagi bertemu dengannya. Sesimpel itu.
Alih-alih kukatakan pendapat ini padanya, aku memilih untuk diam saja. Bagiku saat itu, percuma saja mengatakan hal-hal seperti ini untuk menyanggah pendapatnya. Toh dia sangat kepala. Bahkan, aku berpikir dia mungkim diguna-guna oleh lelaki itu. Bukannya apa, temanku itu cantik sekali. Walau berwajah oriental dan memakai kacamata tebal, dia sama sekali tidak terlihat cupu. Pilihan pakaiannya juga bagus. Orang tuanya memiliki toko alat bangunan, bengkel, dan variasi mobil yang terkenal bagus di Jakarta. Papa selalu dapat diskon 10% setiap membawa mobil ke bengkel orangtuanya. Rasanya aneh kalah anak orang kaya seperti dia bisa naksir cowok yang cuma petugas keamanan biasa.
Saat itu, kupikir cowok itu memanfaatkan kebaikan temanku ini. Dia ini cewek yang tidak sayang uang. Jika ada teman yang membutuhkan, dia memberikan pinjaman tanpa peduli orang itu bisa mengembalikannya atau tidak. Aku saja pernah diberi pinjaman satu set novel Narnia yang akhirnya diberikan padaku. Walau sudah kukatakan aku takut ditagih di akherat, dia malah tertawa. Katanya, "nanti kubilang ke Tuhan kalau aku ikhlas kasih ke kamu. Lagian, Tuhan tahu kok isi hatiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...