Rumah nomor 89 itu selalu kosong. Sudah sebelas tahun aku tinggal di perumahan ini. Rumah itu belum juga ada yang menghuni, bahkan penghuni lama rumah itu juga tidak pernah menampakkan diri. Katanya, sih, rumah itu menjadi sengketa suami-istri yang bercerai. Sempat kulihat ada yang melihat-lihat rumah itu karena memang desainnya menarik, tapi belum ada yang cocok.
Rumah itu tidak sebesar rumah lain. Halamannya pun tidak seluas halaman rumahku. Cat biru tua dan kelabunya sudah memudar, tapi tidak mengurangi keindahan desainnya yang futuristik. Lantai duanya berdinding kaca bening tebal yang dilapisi gorden biru lebih menjorok ke luar daripada bagian bawahnya. Bagian atapnya terbuka, ditempati dua tandon air besar dan mungkin bisa dipakai untu nongkrong. Lampu-lampu hias cantik diletakkan di luar rumah, mungkin kalau semua lampu itu menyala, rumah itu akan terlihat lebih indah.
Bu Ani pedagang sayur komplek ini bilang dulunya rumah itu sangat bagus. Ada lampu-lampu hias di luar rumah yang membuat dindingnya seperti menyala saat malam. Taman kecilnya hijau, penuh dengan bunga dan pohon hias. Rumah itu termasuk yang sering diperhatikan banyak orang.
Aku juga sering memperhatikan rumah itu. Karena letaknya tepat di depan rumahku, nggak jarang aku menonton rumah itu kalau duduk di depan jendela kamar, menyapu, atau saat keluar rumah. Entah kenapa rumah itu seperti mengundang orang untuk melihat. Kalau punya uang, pengin rasanya aku membeli rumah itu.
Ah, mimpi! Melunasi KPR rumahku sendiri saja luar biasa beratnya, apalagi pada masa ekonomi sulit seperti sekarang. Empat tahun lagi cicilanku akan berakhir. Rasanya, aku sudah capek untuk memulai cicilan baru. Kasihan suamiku yang sampai harus bekerja di dua tempat sekaligus. Seorang anak dan KPR di perumahan kelas menengah itu beban yang cukup berat untuk orang yang tinggal di Jakarta.
Pada pertengahan Januari, ada truk yang berhenti di depan rumah itu. Mulanya kukira truk yang sekadar parkir biasa, ternyata itu penghuni baru rumah. Beberapa orang terlihat membersihkan rumah itu. Mereka dari petugas layanan kebersihan yang dipesan online. Pekerjaan mereka memakan waktu sampai sore, padahal yang membersihkan sampai enam orang. Terbayang bagaimana kotornya rumah itu.
Beberapa tetangga berhenti untuk melihat siapa tetangga baru kami. Perumahan ini cukup ramai dengan tetangga yang saling mengenal. Kehidupan sosial di rumah ini cukup bagus. Kami saling membantu dan peduli jika ada tetangga yang kerepotan. Bukan kami, tapi mereka. Aku tidak banyak bergaul dengan tetangga. Pekerjanku sebagai penerjemah membuatku nyaris nggak punya waktu untuk ke luar rumah. Satu-satunya temanku cuma Karin, istri pemilik Coffee shop Savanna. Kami akrab karena aku sangat suka kopi. Kopi darinya selalu enak. Setiap minggu dia selalu ke rumahku mengantarkan kopi. Orangnya ramah dan lucu, tidak pernah mempermasalahkan aku yang lebih suka di rumah daripada ikut kegiatan ibu-ibu.
Memang, sih, lingkungan perumahan ini nggak cuma diisi orang baik. Ada saja orang berengsek yang ikut nyempil dalam kehidupan bermasyarakat; tukang fitnah, tukang cari gara-gara, tukang tikung suami orang, sampai tukang mencuri uang sumbangan juga ada. Selalu saja ada orang yang model seperti itu. Tapi, yah, orang-orang seperti itu tidak perlu dimasukkan dalam daftar. Kepicikan dan kecurangan mereka suatu hari akan membawa mereka dalam kehancuran sendiri. Tunggu saja deh waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...