Hit My Faith

12.7K 1.7K 243
                                    

Rasanya seperti dijatuhkan dari tebing tinggi saat aku terbangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasanya seperti dijatuhkan dari tebing tinggi saat aku terbangun. Dadaku terasa sesak. Aku kedinginan. Sinar matahari yang masuk lewat jendela membuat mataku harus terpejam lagi karena silau, tapi tubuhku kedinginan. Aku berusaha bergerak mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhku. Rasanya nggak ada bagian yang nggak sakit, bahkan mata dan pipiku juga sakit. saat aku membuka mulut untuk memaksakan batuk agar jantungku memompa darah lebih banyak, rahangku juga terasa sakit.

Selama ini, aku hanya mengira-ngira saja rasa sakitnya saat melihat adegan kekerasan dalam film. Baru kali ini aku merasakan sendiri kekerasan itu. Rasanya memang seperti ditabrak mobil. Aku pernah ditabrak mobil waktu masih SMP dulu. Bukan tabrakan serius. Aku menyeberang sambil membaca buku karena akan ulangan. Mobil itu juga tidak memperhatikan jalanan dengan benar. Dia menyenggol bagian belakang tubuhku dan aku terlempat ke pinggir jalan, nyaris menghantam trotoar dan hydrant. Saat itu aku terpaksa harus istirahat selama berhari-hari di rumah karena kakiku keseleo. Sebenarnya menurut dokter aku harus menjalani operasi beda tulang karena menurut mereka sendiku bengkok. Tapi, semua masalah itu bisa diselesaikan oleh tukang urut yang entah kenapa bisa lebih menyembuhkan.

Saat berusaha bangun, aku berpikir untuk memanggil tukang urut lagi. Dulu, aku pernah memanggil tukang urut saat jatuh dari tangga. Semoga Mbah Urut itu masih sehat sekarang. Aku ingat tangan keriputnya kuat sekali menarik otot-ototku yang kaku. Kali ini sepertinya ototku bukan hanya kaku, mungkin malah remuk di beberapa tempat.

Aku duduk bersandari di pinggir tempat tidur. Kakiku terjulur. Kucoba sedikit berpikir untuk merasakan bagian tubuh mana yang tidak sakit. Sepertinya tidak ada. Semuanya sakit, termasuk hatiku.

Mataku masih sulit terbuka. Saar kuraba, terasa perih dan bengkak. Kuraba juga hidungku. Darah kering terasa di sekitar mulutku. Sebenarnya, sudah berapa lama aku tertidur? Atau pingsan?

Aku berbalik, melihat jam dinding yang seharusnya ada di belakangku. Saat mendongak, rasanya bagian belakang leherku juga sakit. Kupaksakan untuk terus mendongak, menarik tulang leher yang kaku, siapa tahu setelah itu jadi lebih nyaman. Mataku sekarang yang tidak bisa melihat karena bengkak. Kutarik napas dalam beberapa kali untuk mengumpulkan kekuatan. Saat mengembuskannya, kubuka juga mataku selebar kubisa untuk melihat jam dinding sial itu.

Jam sebelas, entah lebih berapa pokoknya jarum pendek gemuk itu ada di angka sebelas. Aku mengerjap lagi, lalu kembali menyandarkan kepala pada tempat tidur. Aku ingin tidur lagi. Aku ingin memejamkan mata lagi. Tapi, rasanya ada yang salah. Rasanya ada yang kurang.

Apa, ya?

Kupendam wajah di tempat tidur dingin. Aroma seprai lembap yang belum diganti menyerbu masuk, mengambil alih aroma anyir darah dan kesedihan. Kutarik seprai itu untuk menopang tubuhku agar bisa berbaring di tempat tidur. Aku akan mengingatnya nanti. Sekarang tidur dulu. Tidak ada yang lebih berharga selain tidur yang bukan pingsan.

Oh! Astaga! Patih!

Kenapa aku bisa lupa sama Patih? Anakku! Dia belum makan. Dia belum sekolah!

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang