Hug My Sorrow

12.4K 1.7K 270
                                    

"Ya, Allah! Itu bocah ngapain kayak kucing nunggu ikan gitu?" keluh Karin saat menepikan mobil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ya, Allah! Itu bocah ngapain kayak kucing nunggu ikan gitu?" keluh Karin saat menepikan mobil. "Minta diapain sih tuh bocah?"

Aku cuma melihatnya. Matanya tidak lepas dariku, menungguku keluar dari mobil.

"Aku di sini aja," kataku terlalu pelan untuk di dengar Karin. Dia tidak menggubrisku. Dia membereskan barang-barang yang akan dibawa keluar dari mobil.

"Lu kagak mau pulang?" tanyanya sebelum membuka pintu.

Aku melihatnya dengan bimbang, memikirkan lagi keputusanku untuk tetap berada di dalam mobil. Jelas itu bukan keputusan yang baik. Aku harus masuk ke rumah dan meringkuk di tempat tidurku lagi seperti yang kuinginkan.

"May? Kalau lu kagak suka dia ada di situ--"

"Aku turun," putusku sambil melepas safety belt dan membuka pintu mobil. Sepertinya aku menutup pintu mobil terlalu keras. Aku ingin minta maaf pada Karin, tapi dia seperti tidak peduli. Dia langsung menekan alarm mobil dan berjalan menuju rumahku dengan Andro di depan pintu.

"Gimana, Mbak?"

Aku berpaling, melihat ibu-ibu yang entah kenapa aku lupa namanya.

"Nggak ada yang luka? Mbak mau lapor polisi?" Tatapan ibu-ibu itu terlihat peduli, ekspresi yang diberikan antek-antek gosip. Mereka akan terlihat peduli dan sayang sekali pada calon korbannya. Mereka akan melakukan apa saja demi mendapat bahan gosip baru. Kalau hanya berpura-pura terlihat baik, sih, perkara kecil untuk mereka.

"Nggak ada," jawabku.

"Nggak ada gimana, Mbak?"

"Nggak ada urusannya sama Ibu."

Saat aku berjalan ke rumah, ibu-ibu itu berkata lantang, "Oh, pantas dipukuli suaminya. Ditinggal selingkuh juga pasti. Kelakuannya sombong gitu! Istri nggak becus!"

"Ih, pengin dijepret karet bibir tu orang," gerutu Karin di sampingku. Dia tidak membalas ibu-ibu tadi karena dia bersiap memuntahkan omelan untuk Andro. Dia terus menatap tajam Andro yang berdiri memperhatikanku. Cowok itu menghampiriku, mengulurkan tangan untuk membantuku, tapi Karin menarikku ke samping, menghindarinya.

"Lu ngapain, sih? Udah berapa kali gue bilang jangan sering ke rumah May."

"Mbak nggak apa-apa?" Dia mengulurkan tangan lagi, berusaha menyentuhku. Kali ini aku yang menghindar.

"Nggak apa-apa. Nggak usah khawatir," jawabku singkat.

"Jelas aku khawatir, Mbak." Dia menoleh pada Karin yang terlihat akan meledak. "Aku pengin ngomong sama dia," katanya dengan nada tajam.

"Dek, gini, ya. Perumahan ini rapat dan ramai, beda sama rumah-rumah di perumahan lain. Kalau lu ke sini terus, entar orang mikir yang aneh-aneh. Gue kagak mikirin elu, Dek. Elu laki. Gue mikirin May. Dia udah kayak gini. Lu tambah lagi dia jadi bahan fitnah. Kasihan dia, Dek. Lu kagak kasihan?" Karin manarik napas lagi, menarikku ke belakang punggungnya. Untuk emak-emak kurus dengan wajah mungil, tindakannya terlalu berani seolah tubuhnya jauh lebih besar dari Andro. "Sekarang May butuh teman. Mentalnya lagi lemah. Lu tahu itu. Dia kagak bakal nolak elu kalau lu ngajak dia berteman. Tapi, apa iya lu tega manfaatin dia dalam kondisi kayak gini? Gue ngelindungi dia kayak gini karena gue temannya."

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang