Aku benar-benar berterima kasih pada Karin yang meminta obat tidur pada dokter yang memeriksaku tadi. Setelah menelan obat tidur itu, aku berhasil benar-benar tidur, padahal sebelumnya kupikir aku tidak akan bisa tidur sama sekali, tidak dengan ingatan tentang Mas Roni yang menghajarku di ruangan ini. Saat bangun, aku merasa pandanganku agak kabur. Tubuhku lemas seperti baru berlari jauh. Tenggorokanku kering sampai terasa sakit. Perutku juga keroncongan seperti sudah lama sekali tidak makan. Aku berusaha menajamkan mata untuk melihat jam dindin, tapi yang terlihat cuma bayangan buram seperti kaca mobil yang berembun.
Ada yang memanggilku. "Mama," katanya. Suaranya terdengar jauh. Aku tidak bisa membedakan antara suara nyata atau mimpi.
Kucoba bernapas dengan tenang. Kubiarkan inderaku bekerja semestinya. Aku tahu yang terjadi. Aku sudah lebih santai dari sebelumnya. Sekaranglah rasa sakit itu baru terasa semua. sendi-sendiku seperti kaku, tidak bisa digerakkan. Tulang leher dan tulang belakangku bergemeretak seperti engsel yang lama tidak dilumuri minyak. Kucoba menggerakkan semuanya pelan-pelan, lalu melenguh seperti sapi betina yang baru melahirkan.
Ya, aku pernah melihat sapi betina seperti itu di kampung Mama. Aku dan saudaraku ikut Mama pulang ke rumah orangtuanya setelah berkelahi hebat dengan Papa. Mama merasa tidak sudi lagi tidur seranjang dengan Papa dan siap dicerai. Tapi, beberapa hari kemudian Papa datang menjemput kami. Papa meminta maaf pada Mama dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Sekalipun sebulan kemudian mereka berkelahi lagi, paling tidak Papa punya niat baik untuk mencari Mama lagi, tidak sepertiku yang benar-benar dibuang, tidak diinginkan. Bahkan pada Andro Mas Roni dengan terbuka berkata sudah tidak membutuhkanku.
Seburuk itukah aku? Apa memang selama ini aku cuma istri yang tidak berguna?
"Mama? Mama kenapa?"
Aku berusaha menoleh ke arah pintu. Aku lupa mengunci pintu. Itu Patih yang baru pulang. Dia yang memanggilku tadi?
"Ma?" Patih menggoyang tanganku. Nada suaranya seperti orang kalut. Dia memang seharusnya kalut. Tidak ada anak yang tidak panik melihat kondisi ibunya begini.
Aku berusaha duduk di tempat tidur. Kepalaku benar-benar sakit sekarang. Mataku seperti buta, sama sekali tidak bisa melihat dengan baik. Kututup sebentar mataku dan kubuka pelan. Air mata keluar dari mataku. Aku tidak buta. Aku bisa melihat lebih baik walau bagian belakang mataku terasa sakit sekali.
"Tolong ... ambil ... minum," kataku terbata. Dari sentuhan Patih yang hilang, anak itu langsung bergerak menuruti permintaanku. Senang sekali rasanya punya anak begitu baik. Patih tahu yang harus dilakukannya.
Dia kembali tidak lama kemudian, menyentuhkan tanganku pada gelas kaca. Kuminum seteguk air dingin itu. Kubiarkan tenggorokan keringku terbiasa dulu sebelum menghabiskan semuanya. Kuletakkan gelas di sebelahku, lalu aku berbaring lagi, menikmati rasa dingin pada seluruh tubuhku karena air itu.
Benar, ya. Manusia baru menghargai hal-hal kecil saat hal itu hampir hilang dari dirinya. Biasanya minum air putih hanya sekadar minum untukku. Kadang, aku merasa kurang hanya minum air putih saja. Kali ini aku benar-benar bersyukur bisa merasakan lagi segarnya air putih. Saat membuka mata, semua jadi terlihat jelas. Patih duduk di sebelahku, menangis. Kuulurkan tangan untuk membelai pipinya yang basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...