Empty Road

7.5K 1K 140
                                    

"Belikan rokok sama minum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Belikan rokok sama minum. Aku haus."

Mas Roni mengambil uang dari dompetnya. Dia meletakkan uang itu di dasbor, memintaku mengambilnya.

Kami berhenti di pom bensin untuk mengisi bensin dan babi itu terlalu malas keluar dari mobil untuk membeli minuman untuknya sendiri. Di luar terlalu panas. Walau masih jam sepuluh, matahari sudah menyilaukan. Pantulan cahaya matahari dari kaca mobil lain tepat mengenai mataku membuatku harus sedikit menunduk menghindarinya.

"Mas nggak takut kalau aku lari?" tanyaku yang sebenarnya malas ke mana-mana.

Jujur saja, aku tidak tahu kami sudah ada di daerah mana, mana bisa aku lari dari dia. Aku hanya ingin menghindari suruhannya. Masa iya aku harus bertemu orang dalam keadaan babak belur begini?

Dari tadi aku mencoba memindai jalanan yang kami lalui untuk mencari petunjuk. Sepertinya kami ke luar Jakarta, tapi aku yakin tidak pernah melihat jalanan ini. Agak sulit bagiku menghafal petunjuk jalan. Di belakang, Patih yang biasanya mudah sekali mengingat nama dan arah jalan sedang mengambek. Dia meringkuk menghadap punggung kursi sambil menangis. Karena dia tidak bergerak dari tadi, kuartikan sedang tidur.

"Kamu nggak mungkin lari sendiri. Kamu pasti bawa anak ini. Ke mana pun kamu pergi, pasti bakal kembali ke anak ini. Sudah, May. Jangan ngelawak. Aku sudah sepuluh tahun hidup sama kamu. Aku tahu siapa kamu. Ke pasar aja nyasar, apalagi di sini. Kalau berani lari, bisa gila kamu di jalan." Dia mendorong bahuku. "Belikan sana!"

Kuambil uang darinya dan keluar dari mobil sambil merapatkan pakaianku. Untung saja aku memakai cardigan ini. Kalau tidak, aku pasti sudah menjadi pusat perhatian. Aku masih memakai pakaian tidur semalam.

Begitu aku membuka pintu, mbak-mbak penjaga mini market itu melihatku terkejut. Dia pasti heran melihat luka-luka di wajahku. Jalanku pun belum bagus, masih terpincang karena selangkanganku sakit dan kemaluanku perih tergesek celana dalam setiap kali menggerakkan kaki. Aku berusaha tersenyum untuk mengatakan kalau aku baik-baik saja, tapi luka-luka baru ini tidak akan bisa membohongi siapa pun. Tanganku sendiri masih gemetar saat mengambil air mineral itu dari kulkas. Aku berhenti sebentar, bersandar pada pintu kulkas dan mengatur napas. Jantungku masih berdentum-dentum keras karena kejadian-kejadian pagi ini.

"Mbak butuh bantuan?" tanya lelaki penjaga minimarket itu dengan sopan. Tatapannya khawatir. Dia mengintip di antara kulkas untuk melihat mobil Mas Roni, mungkin berpikir siapa tahu Mas Roni mengawasiku.

Aku menggeleng pelan, tanpa mengatakan apa-apa. Dengan membawa dua botol air mineral ukuran sedang, aku ke kasir untuk meminta rokok pesanan Mas Roni. Dia tidak biasa merokok di rumah. Dia merokok saat berada di kantor, kebiasaan sejak Patih bayi dulu. Kalau sekarang dia terang-terangan membeli rokok, dia mungkin akan mengajak kami ke rumah yang mengizinkan dia melakukannya.

Apa dia benar-benar mengajakku ke rumah orang tuanya? Apa dia punya rumah lain? Apa dia akan membawaku dan Patih ke rumah lain bersama pelacurnya? Apa dia akan mempermalukanku?

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang