Scent of His Skin

10.6K 1.4K 199
                                    

Mobilnya tidak ada di depan rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobilnya tidak ada di depan rumah. Dia pergi. Ke mana? Apa dia sudah bekerja di tempat tertentu? Apa dia bertemu orang? Klien? Partner bisnis? Pacar?

Kenapa aku kesal? Kenapa aku ingin dia pulang? Kenapa aku marah membayangkan dia bertemu pacarnya?

"Ma," panggil Patih sambil menarik tanganku. Dia melihat rumah Andro juga. Sepertinya dia tahu kalau aku memikirkan tetangga kami. Saat melihatku, tatapannya seperti orang yang kecewa. Aku melepaskan tangannya, lalu menarik ujung bibir sedikit untuk membentuk senyuman.

Aku mengikuti Karin yang membukakan pagar kami. Teman yang baik, seperti biasa. Kali ini, aku sangat berterima kasih kalau dia mau pulang.

"Lu pengij gue temenin apa gimana?" tawarnya dengan baik hati.

"Nggak usah," jawabku sangat ingin dia pergi.

"Lu kalau butuh apa-apa, ngomong ke gue. InsyaAllah gue ada buat lu. Anak lu juga. Kalau nyari yang bisa nganter sekolah apa gimana, ngomong ke gue. Laki gue udah punya supir biar gue kagak repot. Entar bisa sekalian anter anak-anak."

Aku agak terkejut mendengar ini. Kupikir Tundra termasuk tipe overprotective yang nggak mengizinian anak-anaknya berada di sekitar orang asing.

"Tumben suamimu percaya sama orang buat bawa anak-anaknya," kataku ingin tahu.

"Bukan laki gue yang nyari. Temennya temen gue. Emang orang dari agency gitu. Katanya insyaAllah amanah."

Ah, tentu saja Tundra sudah memikirkan semua ini. Dia sangat mencintai istri dan anaknya, tidak seperti suamiku yang meninggalkan keluarganya demi pelacur. Kenapa bisa berbeda? Kenapa aku harus bersama laki-laki yang tidak baik? Kenapa Karin mendapatkan laki-laki yang baik? Aku juga mungkin akan menjadi orang yang taat beragama jika punya suami yang bisa mendidikku memahami agama. Sudah jadi tugas suami untuk mendidik istrinya, kan?

Kupikir, Tuhan memang tak sepenuhnya adil. Bagaimana bisa istri diwajibkan untuk menjadi salihah jika diberi suami yang sifatnya jauh berbeda? Bagaimana berharap perempuan bisa menherti agama jika suaminya tidak bisa dijadikan contoh?

"Teman gue yang tadi itu bikin ini sebelum pergi," kata Karin sambil memberikan sekotak plastik kue padaku. Isinya onde-onde.

"Dia bule kok bikin onde-onde? Suaminya orang Indonesia?" tanyaku sambil duduk di sofa, mengicipi onde-onde yang dia bawa.

Karin mengeluarkan satu bungkusan lagi dari tasnya. "Kagak. Laki dia orang bule juga. Cuma, dia lama tinggal di sini. Bapaknya baru nikah sama teman gue yang orang sini. Jadi dia keikut, deh, sama emak tirinya. Eh, ini dari gue. Katanya lagi ngetren mukenah gini. Gue ditawarin ama tetangga gue. Sekalian bantuin ngelarisin dagangan dia, gue pengin kasih buat lu."

Aku memaksakan senyum ucapan terima kasih untuknya. "Terus, dia sekeluarga juga suka makanan Indonesia?" Aku lebih tertarik membicarakan temannya yang cantik itu daripada hadiahnya.

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang