Aku suka melihat kesedihan dalam kegelapan di matanya. Jika begini, dia benar-benar terlihat seperti anak kecil yang butuh pelukan, tidak setangguh sosok biasa yang sering diperlihatkannya. Di depanku, dia bukan lagi pemuda gagah yang menaklukkan hati perempuan segala usia. Di depanku dia lelaki kesepian yang berharap pelukan."Maaf," kataku pelan sambil terus melihat perubahan pada wajahnya. "Aku nggak niat buat manfaatin kamu. Kamu tahu, kan, gimana posisiku?"
"Aku mencoba untuk ngerti, May. Aku ... juga ingin memahami posisimu. Makanya aku diam aja lihat kamu diperlakukan kayak gitu. Aku menghargai rumah yang kamu harapkan itu. Tapi, aku juga pengin sekali aja dilihat walau mungkin sulit buat menghargai pecundang kayak aku."
"Kamu bukan pecundang, Andro."
"Kalau nggak bisa dapatkan kamu--"
"Ah! Sampai kapan kalian, laki-laki melihat perempuan sebagai tropi? Sampai kapan kalian berpikir kalau dapetin cewek itu kemenangan? Perempuan bukan medali yang bisa dipamerin ke mana-mana terus dipajang. Perempuan itu manusia yang bisa memilih dan butuh didengarkan, nggak cuma dielus-elus, dibanggain, terus disuruh diam kayak pajangan."
"Kalian?" Dia mengerutkan alis dan dahi.
"Kamu sama dia sama. Egois."
"Jangan gitu. Aku bukan bajingan, May. Berapa kali harus kubilang sama kamu? Aku ... nggak akan pernah nyakiti istri dan anakku kayak bajingan itu." Dia terdengar tersinggung dan marah. Alisnya bertaut dan wajahnya terlihat sedih. Mau tidak mau, aku jadi mengaitkan dengan masa lalunya. Bisa jadi dia memiliki keluarga yang berantakan juga sampai jadi begini. Apa dia tadinya juga anak dari keluarga bermasalah seperti Patih?
Dia menunduk, lalu duduk di sofa. Kepalanya menunduk dalam sekali.
"Andro?"
Jelas aku merasa bersalah melihatnya begitu. Tujuanku seharusnya untuk meminta bantuannya. Kenapa aku malah menyakitinya?
"Andro, maafin aku."
Seperti saat sedang menenangkan Patih, aku berlutut di depannya, menyibakkan rambutnya agar melihatku.
Dia menangis. Baru kali ini aku melihat dia dengan pipi merah dan mata basah, persis anak kecil. Dia menggenggam tangannya yang di dingin, mengepal di depan wajahnya, lebih seperti menyembunyikan kemarahan daripada merasa sedih atau tersinggung.
Pelan, kulepas kepalan tangannya itu. Kusisir rambutnya ke belakang dengan jari. Hatiku pedih melihatnya begitu, melebihi saat aku sendiri yang merasa sedih.
"Kamu nggak cocok nangis, Andro." Kubelai dahinya. "Kamu cocoknya nakal aja. Maafkan aku, ya. Aku nggak niat nyamain kelakuan dia sama kamu. Aku ... kesal kamu memerintah aku kayak gitu. Aku tahu kamu emosi sama yang dia lakukan, tapi jangan kayak gitu. Kamu bikin aku jadi ingat dia."
Dia mendekatkan dahi kami. "Aku minta maaf, May," ucapnya pelan. "Aku marah banget. Sumpah, aku marah banget. Kalau dia memang mau kembali, asal dia bisa bahagiakan kamu, aku terima. Aku sudah biasa sakit hati. Aku sudah biasa sendirian. Tapi, kalau kayak gini, aku nggak terima. Aku ... pengin bunuh dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Neighbor
RomanceMay sudah merasa kepindahan Andromeda ke rumah kosong di depan rumahnya akan menjadi masalah. Lelaki tampan itu seperti sengaja menggoda gadis dan ibu-ibu di lingkungan perumahan itu. Bukan hanya latar belakangnya yang misterius, tapi juga misteri...