Flower on the Doorstep

7.9K 1.3K 146
                                    

Sudah tiga hari setelah kejadian dengan mertuaku itu, Patih masih juga marah padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah tiga hari setelah kejadian dengan mertuaku itu, Patih masih juga marah padaku. Setelah berorasi tentang pentingnya menjaga diri, kesopanan, agama, dan lain sebagainya, dia menunduk seperti orang yang kalah perang. Mungkin maksudnya dia lelah menceramahiku begini. Dipikirnya aku tidak mendengarkan apa yang dideklamasikannya dari tadi. Dengan langkah pelan dan terseret, dia masuk kamar, mengunci diri di kamar sampai kuketuk pintu kamarnya waktu makan. Dia sama sekali tidak berkata apa-apa seolah kami ini dua orang bisu yang tidak bisa bahasa isyarat.

Bagiku, ini sama sekali bukan masalah besar. Aku sudah terbiasa diam. Justru diamnya ini lebih bagus daripada dia memboroskan tenaga menceramahiku tentang hal-hal yang tidak aku mengerti.

Salah kalau dia pikir aku tidak mendengarkannya. Aku menyimak semua yang dia katakan. Semua. Bahkan setiap kata yang dia potong karena kehabisan napas juga aku dengarkan dengan baik. Sayangnya, aku tidak mengerti apa pun yang dia katakan. Tidak ada satu bagian pun yang mau singgah lebih lama dalam kepalaku.

Mungkin benar, aku sudah bebal. Kerusakan yang ada dalam diriku sudah terlalu parah. Bahkan orang sebaik Karin saja sudah tidak mungkin lagi bisa menyembuhkan keburukanku.

"Patih, ulangan sudah selesai, kan, hari ini?" tanyaku saat dia keluar kamar pagi ini dengan memakai seragam sekolah.

"Biasa, ada lomba, Ma." Dia tidak melihatku. Rambutnya masih masah karena mencuci rambut saat mandi, kebiasaan yang diajarkan Mas Roni. Tetes-tetes air membasahi pelipis dan sebagian lehernya. Bagian belakang seragamnya juga basah.

Kuambil handukku sendiri, lalu kuusap rambutnya dari belakang sementara dia menyiapkan makanannya. Tangannya mengusirku.

"Nggak usah, Ma. Aku bisa sendiri." Dia terdengar murung, masih marah padaku. Dia merapikan rambut setengah kering yang kuacak-acak lagi dengan handuk.

"Kalau sebasah itu, nanti seragammu basah. Kamu malah masuk angin begitu sampai sekolah. Katanya mau lomba, kan?" kataku dengan nada khawatir.

Dia menggeleng, lalu mengunyah nasi gorengnya. Dia begitu bukan karena lapar, tapi untuk menghindariku. Tentu aku nggak akan mengizinkan dia makan dengan mulut penuh.

Jujur saja, ini melukai hatiku. Mau sampai kapan kami harus saling diam begini?

Aku duduk di depan meja, menghadapnya. Pelan, dia memindahkan pandangan agar tidak perlu berhadap-hadapan dengankum dia masih belum ingin berkomunikasi denganku.

"Apa yang harus Mama lakukan untuk bikin kamu ngomong lagi? Apa memang kamu sebegitu marahnya sama Mama sampai nggak mau ngomong lagi? Apa di matamu dosa Mama sudah nggak akan bisa diampuni lagi?" kataku pelan, pelan sekali. Aku tahu hatinya masih serapuh kaca tipis sekarang. Aku tidak ingin melukainya lagi.

Dia menangkap maksudku. Seketika, dia berhenti mengunyah cepat-cepat makanan di dalam mulutnya. Setelah diam sama sekali, dia mengunyah lambat, lalu mengembuskan napas panjang seperti orang yang benar-benar kelelahan.

Good NeighborTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang