Mayoran

34 1 0
                                    

“menikah??” pekik Salfa tak percaya. Begitu pula Arza yang tampak terkejut mendengarnya. sementara Mayra dan Rayyan hanya saling pandang kemudian mengangguk pada sepasang pengantin itu.
Akmal juga mengangguk pelan sambil meringis malu, sementara Zahra menunduk, bingung harus mengatakan apa.

“baiklah, jadi gini, teman – teman….” Akmal pun menceritakan pada teman – temannya itu, perihal pertemuannya dengan Zahra setelah kelulusan dan bagaimana ceritanya ia bisa mantap untuk melamar Zahra. Arza dan Salfa mengangguk paham mendengarnya.

“hoho… selamat, bro!!” ujar Arza turut bahagia sambil menepuk pelan bahu Akmal. “aku do’ain semoga lancar sampe hari-H dan pernikahannya langgeng sampe’ kakek nenek ya?” ucap Arza.

“Sal… ada temen kampusnya Arza nih!” panggil kak Raisa, kakaknya Salfa.

“iya, kak..” ujar Salfa. Arza lalu pamit untuk menemui teman – teman kampusnya.

Ketika Salfa hendak menyusul Arza yang sudah lebih dulu menemui teman – temannya, Zahra menahannya. Ia memberikan sebuah undangan pada Salfa. “ini undangan kamu??” Tanya Salfa tak percaya.

Zahra melotot menatapnya. “ehh! Bukan! Itu tuh undangannya bang Zain sama mbak Kia buat kak Raisa, aku nitip ya? Ntar kasihin ke dia.”  Kata Zahra. Salfa terkekeh mendengarnya. ia mengangguk seraya melenggang pergi, meninggalkan Zahra bersama Akmal. Mereka berdua saja saat ini, sementara Rayyan dan Mayra tampaknya sedang mengambil makanan di meja prasmanan.

“m-mas Akmal- nggak pengin makan dulu?” Tanya Zahra ragu. Sudah lama ia tidak memakai panggilan itu pada Akmal.

Akmal tersenyum sambil menggeleng pelan, “aku pengin ngobrol sebentar sama kamu, Ra.” Ujarnya.

“soal apa?”

“pas aku ke rumah kamu kemarin, apa Gus Daffa juga datang kesana?” Tanya Akmal kemudian.

Zahra tersenyum, ia tahu kalau Akmal pasti sudah mengetahui kedatangan Gus Daffa ke rumahnya hari itu. Zahra mengangguk pada Akmal, “iya, mas. Gus Daffa datang sebelum mas Akmal. Dia juga membawa lamaran buat Zahra. Tapi Zahra nggak bisa nerima lamaran beliau.” Ujarnya.

“kenapa? Karena masih ada orang lain di hati kamu?”

Zahra terdiam. Pertanyaan Akmal memang tepat sasaran, di hatinya masih ada orang lain. Dan orang lain itu adalah Hamza. Namun ia tidak mau menyakiti perasaan Akmal dengan mengatakan terang – terangan apa alasannya. Ia lalu tersenyum pada Akmal, “bukan begitu. Zahra ngerasa nggak nyaman aja sama beliau.” Katanya.

Akmal manggut – manggut mengerti. “lalu, kalau aku boleh tahu, apa alasan kamu nerima lamaranku?” Tanya Akmal lagi.

“mas Akmal masih ragu ya sama keputusan Zahra?” Tanya Zahra kemudian.

Akmal menggeleng cepat, “bukan itu maksudku, Ra. Aku cum-”

“yang pasti, beliau bukan alasan Zahra buat nerima mas Akmal.” Kata Zahra sambil menatap lekat Akmal.

Akmal terdiam mendengarnya.

“karena Zahra yakin, dengan kemampuan mas Akmal untuk menjadi pemimpin dalam kehidupan Zahra nanti. Dan mungkin, Allah memang telah menulis nama mas Akmal sebagai jodoh buat Zahra.” Lanjut Zahra. “Semoga, dengan pernikahan Zahra dengan mas Akmal nanti, bisa bantu Zahra buat lupain cinta Zahra buat Hamza. Zahra akan belajar jatuh cinta sama mas Akmal, sekali lagi. Zahra harap, mas Akmal mau mengajari Zahra, untuk jatuh cinta pada Pencipta kita, dan tentunya, jatuh cinta padamu.” Do’a Zahra dalam hati.

“oh iya, insya Allah aku dan orang tuaku akan datang besok malam. Tadi aku udah bicara sama mereka.” Kata Akmal.

Zahra mengangguk mendengarnya sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang. “iya, mas. Nanti Zahra akan kasih tau bang Zain sama bunda soal ini.” Katanya.

“heh! Makan! Nggak mau cepet pulang?” seloroh Rayyan yang entah sejak kapan sudah berada di belakang Akmal sembari menarik kursi di dekat Akmal. Sesaat kemudian, Mayra juga datang. Akmal dan Zahra pun beranjak pergi ke meja prasmanan yang telah disiapkan tuan rumah untuk para tamu undangan itu.

🍀🍀

Siang itu, kegiatan madrasah Ponpes Nurul Falah baru saja usai. Zahra dan Mayra menenteng sisa belanjaan mereka yang masih ada di jok motor Mayra menuju dapur madrasah di dekat kantin.  Sementara yang lain tampak sibuk menyiapkan bumbu – bumbu. Ya. Hari itu mereka akan memasak beberapa menu untuk mayoran (makan bersama) dalam rangka syukuran karena Zahra sudah khatam Alfiyah.

“Ra, itu kamu ulek dulu ya sambelnya? Bisa ngulek ‘kan?” Tanya Ning Ayda.

Zahra mengangguk. Ia pun menghaluskan sambal yang sudah disiapkan oleh Ning Ayda, sementara beliaunya mulai memasukkan bumbu untuk memasak nasi goreng. Zahra yang sudah selesai menghaluskan sambal pun menghampiri Ning Ayda yang baru saja memotong sayuran untuk pelengkap nasi gorengnya. 

“belajar masak sing tenanan loh, Ra! Bentar lagi ‘kan kamu nikah.” Bisik Mayra yang langsung mendapat hadiah senggolan siku dari Zahra dan membuat Mayra terkekeh karenanya.

“iya tuh, Ra. Belajar masak! Masa’ mau nikah belum bisa masak?” ledek Ning Ayda pelan.

“iya, Ning.. iya.. ajarin Zahra masak ya, Ning..”

Ning Ayda terkekeh mendengarnya, “hahaa.. padahal aku sendiri juga kurang ahli.”

“tapi masakan Ning Ayda enak – enak kok.” Ujar Zahra disusul anggukan Mayra.

“hmm…beneran itu? Ya udah, sini! Tak warahi masak!”

Ning Ayda pun mengajari Zahra memasak nasi goreng. Ketika usai membuat bumbunya, Ning Ayda meminta Zahra untuk memanaskan minyak.

“minyaknya jangan banyak – banyak, Ra!” peringat Ning Ayda pada Zahra yang hendak menuangkan minyak.

“iya, Ning..”

Masakan hampir matang semua. Namun tiba – tiba, Ning Ayda menyenggol – nyenggol lengan Zahra yang ada di dekatnya saat matanya menangkap sebuah obyek menarik di koperasi dekat dapur, dimana Akmal tampak memilih sesuatu. “eh, Ra. Calon suami tuh di kopsis!” bisik Ning Ayda sambil menunjuk ke arah kopsis.

Tuing! Klothak!

Sutil yang dipegang Zahra mencelat entah kemana. Tangannya gemetar setelah mendengar ucapan Ning Ayda tadi. Entah kenapa, istilah ‘calon suami’ akhir – akhir ini selalu membuat tangannya gemetar setelah ia menerima lamaran Akmal. Ia lalu melihat ke bawah untuk mencari sutilnya setelah melayangkan tinju kecil pada lengan Ning Ayda disusul kekehan kecil Ning Ayda. Ia memandang sejenak ke arah Akmal di koperasi dan saat ini sedang menatap ke arah dapur. Hatinya mulai tak karuan lagi. Ia pun beralih mengambil sutilnya yang tergeletak di lantai dekat rak perkakas dapur. Namun ketika bangun..

Klonthang! Tuwiwiwingg!

Sebuah nampan aluminium terjun ke lantai setelah Zahra tak sengaja menyundulnya, menimbulkan suara mendengung yang mungkin terdengar hingga keluar dapur. Ning Ayda tergelak melihat aksi salting Zahra yang berkepanjangan itu.
“hahahaha.. jangan salting kaya gitu toh, Ra..! ya Allah…” ledek Ning Ayda.

Zahra mendengus kesal, “Isshh! Awas ya njenengan, Ning!” gerutunya.

“hehe.. piss!” ucap Ning Ayda sambil mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

Dari kejauhan, tampak seorang kang santri sedang mengawasi setiap pergerakan Zahra sejak bubar madrasah tadi. Sejenak kemudian, kang santri itu berlari keluar lewat gerbang belakang karena akan ada bis pondok yang lewat disana. Kang santri itu lalu kembali ke pondok putra.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang