Seusai muhafadzoh, entah kemana Akmal tidak segera masuk kelas sehingga suasana di kelas sedikit gaduh. Apalagi kelas sebelah juga kosong, kelas Ustadz Hanif. Zahra meletakkan kepalanya di atas lipatan tangannya sambil merapalkan hafalannya karena Akmal memintanya untuk menyetorkan hafalannya dari awal sampai terakhir ia setorkan. Meski sudah 850 bait, ia masih tetap menghafalnya beserta babnya. Karena bukan tidak mungkin Akmal hanya mendikte babnya saja dan dia harus hafal bait awal bab tersebut.
Sementara itu, Ning Ayda berkejaran dengan khodimahnya, Nahla. Entah apa yang membuat mereka berdebat seru sampai berkejaran seperti itu. Mereka berkejaran keluar kelas. Ketika kembali, Ning Ayda kembali tanpa kerudungnya, hanya kasanya saja yang menutupi kepalanya. Zahra terkekeh melihatnya. “ya Allah, Ning…minangnya kemana itu?”
“itu tuh, Ra.. dicantolne nag genter pojok sana sama Nahla. Bener – bener ya tuh anak? Awas aja, tak aduin ke mimi!” kesalnya. Ia memanggil sang ibu dengan sebutan “Mimi”.
Zahra terkekeh geli mendengarnya. Pasalnya, suara Ning Ayda itu imut sekali, persis seperti anak kecil. Wajahnya cantik natural, pandai pula. Dia begitu perhatian pada teman – temannya, apalagi soal pelajaran. Dan biasanya, Zahra sering meminta tolong pada Ning Ayda untuk menyimak hafalan Alfiyahnya.
Tiba – tiba saja, Ning Ayda yang semula duduk di bangku dekat pintu beringsut sembunyi di belakang pintu saat menyadari derap langkah kaki seseorang yang ternyata adalah Ustadz Fatih, ketua pesantren tahun ini. “kok rame sekali kelas ini? Ustadz Nazeef kemana?” Tanyanya.
“dereng rawuh, Ustadz..” sahut Aisya.
“ya sudah, mubayyinahnya siapa? Langsung dijelaskan saja, 2 anak madosi Ustadz Nazeef dimana.” Titah beliau. Para santri mengangguk faham.
Setelah Ustadz Fatih berlalu, Ning Ayda menyembulkan kepalanya keluar, memastikan bahwa Ustadz Fatih sudah tidak ada disana. “huft, amaan…”lirihnya. Ia lalu memandang ke arah Zahra. “eh, Ra! Cariin si Nahla itu dong kemana dia! Suruh balikin minangku kesini. Aku mau bayyin ini..” suruh Ning Ayda. Zahra mengangguk dan langsung bergegas keluar.
Dari kelasnya, ia berjalan ke kanan dimana genter itu biasanya tersandar di tembok sana. Namun ia tidak melihatnya. “biasanya disitu?” lirihnya heran. Pandangannya menyapu sekeliling mencari letak genter itu. Mulutnya menganga ketika dilihatnya genter yang lengkap dengan kibaran kerudung Ning Ayda tersandar di samping komplek Tsuroyya jauh di sebelah timur. Nahla juga baru saja kembali dari sana.
Ketika hendak berteriak memanggil Nahla, dilihatnya Ustadz Hanif berjalan ke arahnya. Ah, bukan. Beliau hendak masuk ke kelasnya yang ada tepat di belakang Zahra. Zahra pun membungkuk dan ngesot sambil menunduk tanpa berani memandang Ustadz Hanif yang menggeleng melihatnya.
Zahra pun berlari turun menghampiri Nahla. “Nahla!” panggilnya ketika melihat Nahla mendekatinya.
“kenapa?”
“kamu ini aneh – aneh deh! Ambil lagi tuh minangnya Ning Ayda.” Suruhnya. Nahla terkekeh mendengarnya.
“hehee…ya udah yuk! Pasti ntar aku diaduin ke Ummi Nayya deh!” katanya sambil terus terkekeh. Zahra berjalan mendahului Nahla menuju kompleks Tsuroyya. Hingga ia tidak sadar kalau Nahla berlari kembali ke kelas meninggalkannya ketika menyadari Akmal dari kejauhan yang sedang berjalan menuju kelas.
Kerudung Ning Ayda sudah ada di tangan Zahra, namun ia terkejut karena Nahla tidak ada di belakangnya. Matanya membulat saat menyadari Akmal sedang berbicara dengan salah seorang Ustadz dari kelas Ibtida’iyyah. Buru – buru ia kembali ke kelasnya dengan berlari. Meski sempat terjatuh karena kesrimpet jarik yang dipakainya, ia berhasil mencapai tangga menuju kelasnya. Namun ia semakin panik melihat Akmal sudah berjalan ke arahnya. Ia pun melompat ke tangga setelah melepas asal sandalnya yang entah terlempar kemana dan langsung berlari naik ke tangga kelas setelah kakinya kesandung tangga utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas atau Halal?
RomantikMuhammad Nazeef Akmal "Cukuplah kucintai kamu dalam hati, menyalurkannya lewat untaian doa, dan menjagamu melalui Allah"