Perasaan Gus Amar

32 2 0
                                    

Akmal dan Rayyan spontan menoleh ke asal suara dan langsung berdiri ketika menyadari Gus Amar ada di ambang pintu gerbang madrasah. Beliau sedang bersandar di pintu sambil fokus membaca kitab fiqih di tangannya. Akmal dan Rayyan saling pandang. Akmal mengisyaratkan Rayyan untuk sungkem pada Gus Amar dan meminta maaf karena sudah membicarakan Gus Amar di belakangnya alias ghibah.

"sepuntene, Gus.. ndak ada maksud buat ghibah njenengan kok.." kata Rayyan sambil cengengesan yang kemudian mendapat hadiah injakan kaki dari Akmal sehingga ia meringis kesakitan. Sementara Gus Amar malah tertawa kecil seraya mendekat dan duduk di kursi panjang tempat Akmal dan Rayyan berbincang tadi.

"dighibahin juga nggak papa kok. 'kan dosaku yang berkurang, ntar tak kasih jajan kalian." Ujarnya santai sembari bersandar dan membenahi pecinya. Sementara dua orang yang diajak bicara malah menunduk dalam karena merasa bersalah. Melihat hal itu, Gus Amar tertawa kecil seraya mengisyaratkan mereka untuk duduk di sisinya. Semula mereka menolak, etika di pesantren, mereka seharusnya duduk di bawah. Namun karena Gus Amar memaksa akhirnya mereka pun duduk di sisi kanan dan kiri Gus Amar.

"saya tau kok, kalian lagi ngomongin soal Gus Daffa, saya, Zahra, dan kamu, kang." Tutur Gus Amar sambil menunjuk Akmal dengan matanya yang sontak membuat Akmal memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap Gus Amar. "saya juga tau kalo kamu suka sama Zahra, kang."

Ucapan Gus Amar barusan membuat Akmal terkejut, ia jadi semakin sungkan dengan Gus Amar dan kembali menunduk. "maaf, Gus. Kalau saya sudah lancang menyukai gadis yang Gus suka." Katanya.

"nggak, kang. Nggak masalah. Saya malah senang dengan hal ini." Kata Gus Amar lagi.

Akmal menatap lekat Gus Amar, "maksudnya gimana, Gus?" tanyanya.

Gus Amar tersenyum tipis, "saya emang sempat suka sama Zahra, semenjak saya jadi mustahiq MPQ-nya. Tapi ternyata, umurnya 2 tahun lebih tua dari saya. Jadi ya, saya hanya menganggapnya sebagai kakak saja meskipun dia itu murid saya. Karena emang saya nyari calon yang umurnya itu lebih muda dari saya. Hehe.." Gus Amar terkekeh, disusul tawa kecil dari Akmal dan Rayyan.

"Waktu saya tau Gus Daffa juga suka sama Zahra, saya langsung minta ke mas Kafa untuk melamar Zahra. Tapi mas Kafa bilang, nunggu Zahra khatam alfiyah dulu. Ya jadilah mas Kafa tau kalau saya suka sama Zahra. Saya minta mas Kafa begitu karena saya nggak rela kalau Zahra sampai jadi sama Gus Daffa, kasihan Zahra nanti. Dan waktu saya tau kalau kamu juga suka sama Zahra, saya sangat bersyukur, karena saya punya teman untuk melindungi Zahra dari Gus Daffa." Jelas Gus Amar.

Kata - kata Gus Amar yang terakhir membuat dahi Akmal mengernyit. "melindungi??"

Gus Amar mengangguk pelan. "iya." Lirihnya. "kamu harus melindungi Zahra, kang. Dan itu artinya, kamu harus gercep buat ngelamar dia." Kata Gus Amar datar.

Ketika Akmal hendak bertanya lagi, Gus Amar beranjak dari duduknya dan membenahi sarungnya. "huft, sampai lupa. Saya mau nemuin mas Birru di kantor." Katanya sambil mengenakan pecinya.

"oh iya, Gus. Tadi Gus Daffa pengin ngobrol sama njenengan katanya." Ujar Rayyan yang dihadiahi senggolan siku dari Akmal.

"dawuh!" lirihnya mengingatkan.

Rayyan hanya meringis menatap Gus Amar yang terkekeh karenanya. "iya, nanti saya ke sana. Ya sudah, saya pergi dulu ya? Assalamu'alaikum.." ucap Gus Amar dan dijawab oleh Akmal dan Rayyan.

Sepeninggal Gus Amar, Akmal masih termenung, memikirkan kata - kata Gus Amar tadi.

Beliau memintanya untuk cepat melamar Zahra dan harus melindunginya.

Melindunginya dari siapa? Dan dari apa?, batinnya.

Tuk!

Sebuah Hi-Tech sukses mendarat di ujung kepala Akmal, mengeluarkannya dari beberapa pertanyaan yang menghantui pikirannya.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang