Sisi Lain

10 1 0
                                    

Sesampainya di kamar pengurus, Akmal membaringkan tubuhnya di tikar sembari memejamkan mata. Namun baru beberapa detik ia memejamkan matanya, tiba – tiba..

Glonthang!

“WOEYY!!”

Terdengar suara gaduh dari dapur pengurus. Disusul suara gedebukan seperti orang yang berlari. Akmal pun beranjak dari posisinya dan berjalan menuju dapur. Dilihatnya kang Muna sedang mengangkat sapu tinggi – tinggi sambil mengusir tikus yang sedang bersembunyi di bawah tempat piring. Dari dulu kang Muna memang paling anti dengan yang namanya tikus. Karena menurutnya tikus itu adalah hewan yang sangat menjijikkan.

“kang! Bantuin dong, usir tikusnya!” ujar kang Muna.

Namun bukannya membantu, Akmal malah hanya berdiam sambil bersandar di pintu lalu terkekeh kecil melihat kang Muna yang berlari kesana kemari mengejar tikus itu.

“ye..malah dilihatin doang sih? Bantuin napa?” kesal kang Muna sambil terus mengejar tikus itu. Ketika Akmal hendak membantu, tikus itu berlari ke arah pintu.
Akmal pun secepatnya meraih sapu di dekatnya lalu mengusir tikus itu hingga keluar.

Kang Muna bernafas lega melihatnya. “huft! Alhamdulilah, akhirnya keluar juga itu tikus.” Lirihnya.

Akmal lalu masuk untuk mengambil air minum kemudian duduk di sebuah kursi yang ada di dekatnya, sementara kang Muna melanjutkan kegiatannya. Fikiran Akmal masih tertuju pada cerita Zain tadi tentang kondisi Zahra saat ini. Ia tidak ingin berfikir yang macam – macam, takut benar – benar terjadi. Tapi mendengar cerita Zain tadi, Akmal tidak bisa mencegah arah fikirnya yang langsung tertuju pada kekuatan sihir. Selain karena ia tidak sepenuhnya percaya pada hal – hal seperti itu, di lingkungan desa itu cukup agamis, jadi kecil kemungkinan ada pemilik sihir disana, atau lebih tepatnya memanfaatkan sihir untuk tujuan tertentu.

“ada apa sih, kang? Ada yang kamu pikirkan?” Tanya kang Muna.

Akmal tersadar dari fikirannya lalu tersenyum pada kang Muna sambil menaruh gelasnya di meja. “nggak papa kok, kang.” Jawabnya.

“nggak usah bohong..”

Akmal terdiam sejenak. Akhirnya ia pun menceritakan apa yang ia dengar dari Zain tadi. “…aku bingung, kang. Aku pengin banget ketemu dia, cek kondisinya. Setidaknya aku bisa menepis fikiran burukku ini. tapi, aku juga nggak mungkin ‘kan, kalau tiba – tiba masuk pondok putri di jam efektif madin seperti ini tanpa alasan tertentu. Dan jika minta ke paklek pun, aku sungkan.” Ujar Akmal mengakhiri ceritanya.

Kang Muna tampak menimbang sesuatu. “emm.. coba kamu tanyakan aja ke Ustadz Ahmad, kang. ‘kan beliau juga yang mengajar di kelas Zahra, beliau berinteraksi langsung dengan Zahra. Seenggaknya kamu punya gambaran lebih perihal kondisi Zahra. Atau, kang Nazeef bisa bertanya pada teman – teman sekelas Zahra. Semisal Ning Ayda.” Saran kang Muna. “sebenarnya bisa ‘kan kang Nazeef ke rumah Zahra, sekedar ingin mengetahui kabarnya. Tapi kayanya, untuk sementara ini akan sulit mendapat izin keluar pondok selain untuk kepentingan mengajar pondok cabang. Mengingat beberapa kasus kemarin yang terjadi disini.”  Lanjut kang Muna.

Ya, beberapa hari yang lalu, ada beberapa santri putra yang intinya ketahuan memiliki hubungan dengan santri putri, dan mereka melakukan beberapa pelanggaran. Bertemu diam – diam salah satunya. Dan para pengurus tahu kalau santri itu ternyata sudah lama dan berkali – kali melakukannya.

“ya sudah, nanti biar saya nemuin paklek dulu.” Ucap Akmal kemudian.
Selepas jama’ah ‘ashar, Akmal menghubungi Atthar agar disambang bersama pakleknya, karena beberapa kali ia tidak bisa menghubungi nomor paklek Ahmad. “ya udah, nanti abis isya’ mas Atthar kesana deh sama paklek.” Ucap Atthar pada adiknya itu.

🍀🍀

“mau bicarain apa?” Tanya Attharva pada Akmal yang masih sibuk mengaduk – aduk secangkir teh di hadapannya.

Beberapa saat kemudian, Ustadz Ahmad merogoh saku bajunya lalu meletakkan lingkaran kecil di dekat Akmal yang ternyata adalah cincin yang diberikan Akmal pada Zahra ketika acara lamaran kemarin. Akmal tampak terkejut melihatnya. “paklek? Ada apa ini?” Tanya Akmal kemudian, ia tampak tegang.

"Tempo hari, paklek lihat Zahra buang cincin ini di tong sampah kelasnya. Ya jadi paklek ambil dan paklek simpan. Agak marah sebenarnya, tapi paklek tahan. Paklek akan Tanya dulu kenapa dia buang cincin dari kamu ini. tapi kemudian, besoknya dia nggak masuk dua hari. Dan ketika masuk, paklek lihat dia menerima hadiah dari Gus Daffa-”

“isinya?” potong Akmal sebelum paklek Ahmad melanjutkan ceritanya.

“hi-Tec asli. Dan semenjak itu, ada yang berubah dari dia. Suka ngelamun, dan agak linglung. Dan caranya memperhatikan pelajaran itu, menurut paklek aneh. Intinya tidak seperti biasanya.”

“apa paklek berfikir kalau ini-” Akmal menjeda sejenak ucapannya. “ada hubungannya dengan sihir?”

Attharva tampak terkejut mendengarnya. “astaghfirullahal’adhim.. husst omonganmu dek!” peringat Attharva pada Akmal.

Paklek Ahmad tampak terdiam. “bisa jadi iya, Mal. Tapi mengingat lingkungan desa kita yang agamis, sepertinya tidak mungkin.” Ujar paklek Ahmad. “jadi paklek saranin, lebih baik kamu yang cek kondisinya.” Saran beliau kemudian.

“nggak mungkin, paklek. Situasinya nggak tepat. Disini susah izinnya, gara – gara insiden beberapa hari yang lalu.” Kata Akmal.

“maksud paklek, kamu gantiin paklek ngajar lagi. Dengan begitu, kamu akan mudah mendapatkan izin. Dan jika memang itu karena sihir, kamu pasti bisa ngerasain gimana reaksi dia pas ketemu kamu besok. Jika masih seperti biasa, mungkin memang dia ingin mengakhiri hubungan kalian. Tapi jika reaksi dia aneh, tidak seperti biasa, maka kita akan menyelidiki lebih lanjut.” Jelas paklek Ahmad.

Akmal mengangguk mengerti setelah mendengar rencana pakleknya. Seusai bertemu dengan pakleknya, hatinya semakin gelisah. Ketika sampai di kamar, ia meletakkan cincin yang ia terima dari pakleknya tadi ke sebuah kotak kecil di laci lemarinya. Ia lalu mengambil wudhu lalu kemudian merebahkan diri di tikar yang sudah digelarnya.

Tanpa disadari oleh Akmal, sikapnya mengundang perhatian beberapa teman kamarnya. Rayyan melihat arloji yang melingkar di tangannya, “ini masih jam setengah sepuluh. Nggak biasanya dia kaya gini?” gumamnya heran.

Kang Muna lalu datang dari dapur menghampiri Rayyan sambil membawa secangkir kopi yang baru saja dibuatnya. “kenapa? Kok kaya bingung gitu?” Tanya Kang Muna.

“nggak papa sih, kang. Cuma heran aja, nggak biasanya si Akmal tidur jam segini.” Jawab Rayyan sambil terus menatap Akmal yang tampak gelisah, meski pemuda itu sudah memejamkan matanya.

“dia lagi bingung kali, ada masalah sama hubungannya dengan Zahra. Dan menurutku, ini agak serius.” Ucap kang Muna.

“emang kenapa? Kok dia nggak cerita sama aku?” Tanya Rayyan penasaran.

“yee..emang kamu siapanya?” ledek kang Muna.

“bestie lah!” jawab Rayyan asal.

“hillih!”

“jadi gimana ceritanya? Ada apa?” Tanya Rayyan kemudian.

Kang Muna pun akhirnya menceritakan apa yang dikhawatirkan Akmal tentang kondisi Zahra akhir – akhir ini. Rayyan tampak terkejut mendengarnya.

“sihir??” pekiknya tak percaya yang langsung disambut bekapan tangan kang Muna di mulutnya.

lambenya dikondisikan njeh?” peringat kang Muna pada Rayyan agar mengecilkan volume suaranya. “seisi kamar ini bisa tau tentang hal ini nanti!”lanjut kang Muna.

Rayyan cengengesan mendengarnya.
“hehe.. maaf, kang..” ucap Rayyan sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. “eh, terus tindakan dia apa?” Tanya Rayyan kemudian.

“tadi aku saranin Tanya – tanya dulu sama Ustadz Ahmad tentang kondisi Zahra itu. Dan kayanya, dia baru saja kembali dari ketemu sama Ustadz Ahmad. Entah apa yang mereka bicarakan sampai dia kelihatan gelisah kaya gitu.” Ujar kang Muna.

Rayyan terdiam, sesuatu melintas di benaknya. “apa mungkin ini ulah Gus Daffa?” tanyanya kemudian.

Kang Muna tampak terkejut mendengar ucapan Rayyan.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang