Setelah libur selama sepekan, kegiatan belajar telah dimulai kembali sejak pertama masuk madrasah. Dan Akmal sudah mulai mengajar kembali seperti biasa. Muhafadzoh kubro, musyafahat mingguan, dan beberapa rutinitas mendekati ikhtitam sudah mulai dilakukan di semester akhir ini.
Siang itu, Akmal sedang menarik hafalan para santri putri kelasnya. Tanpa terasa, 4 bulan berlalu begitu cepat. Hari itu adalah hari terakhir ia menyimak hafalan para santri putri dan mengajar disana. Paklik Ahmad sudah tiba sejak 2 hari yang lalu, jadi mulai besok tugasnya disana sudah selesai dan paklik Ahmad sudah mulai mengajar lagi.
Senyumnya mengembang ketika santri terakhir yang akan ia simak hafalannya adalah Zahra, tambatan hatinya. Rasa pening di kepalanya berkurang ketika Zahra hadir di hadapannya. Ya, dia memang kurang enak badan sejak berangkat mengajar tadi.
“terakhir mana, Ra?” Tanya Akmal sambil membuka buku nadhoman kecil di tangannya.
“bait ke 801, ustadz..” jawab Zahra dengan sopan.
Akmal mengangguk dan mulai menyimak. Bait demi bait Alfiyah mulai Zahra hafal hingga sampai pada bait yang ke-850.
“bagus, mbak. Kurang 152 bait lagi kamu khatam. Semangat terus nggih? Kamu harus bisa khatam.” kata Akmal memberi semangat pada Zahra.
Zahra tersenyum dan mengangguk. “nggih, ustadz.. matur nuwun…” ujarnya senang.
Setelah dirasa cukup, Zahra pun mohon diri. Sementara Akmal langsung kembali ke pondok putra untuk mengikuti syawiran. Namun ketika sampai di kamarnya dan meletakkan kitabnya dalam bangkrak, kepalanya kembali terasa pening. Bahkan melihat benda – benda di sekitarnya serasa berputar semua. Ia lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
Tiba – tiba, masuklah Gus Amar dan kang Faris, teman sekamarnya selain Rayyan. Gus Amar tampak heran melihat Akmal yang bisaanya rajin ikut syawiran malah gletakan dengan nyaman di kasurnya.
“kang, ndak nderek syawiran toh?” Tanya Gus Amar.
“mboten, kang.. nyuwun tulung izinke kulo nggeh teng Ustadz Rahman..” jawab Akmal tanpa membuka matanya.
Mendengar jawaban Akmal, spontan kang Faris menyenggol pelan paha Akmal, sementara Gus Amar hanya tersenyum dan menggeleng karena ulah dua shohibnya itu.
“he, kang! Bangun toh! Iku Gus Amar sing ndangu, bukan kang – kang..” tegurnya pelan.Akmal membuka mata. Matanya sontak melebar melihat Gus Amar berdiri di hadapannya. “masyaAllah, Gus…ngapuntene, Gus..kulo mboten ngertos..” ujar Akmal sopan seraya beranjak dari tempat tidurnya dan menyalami Gus Amar dengan penuh takzim.
“santai mawon, kang!” kata Gus Amar. Kang Faris lalu keluar setelah mengambil sesuatu di kamarnya disusul Gus Amar. “duluan ya, kang!” katanya seraya keluar. Akmal hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya dengan sopan.
Gus Amar adalah putra ketiga dari Abah Yai Abdurrahman dan Ummi Salma, pengasuh pondok pesantren putra Nurul Falah. Meskipun umurnya masih sangat muda, yah kira – kira 2 tahun lebih muda dari Akmal, tapi dia sudah menguasai beberapa kitab fiqih besar. Ia menjabat sebagai ketua syawir fraksi kelas Akmal, dan pimpinan mustahiq MPQ di pondok putri.
Akmal pun melanjutkan kegiatan tidurnya. Namun baru beberapa menit Akmal memejamkan mata, tiba – tiba..
Dukk!
Brukk!
Akmal tersentak bangun setelah mendengar suara benda bertabrakan dan buku – buku yang dibanting ke meja hingga berserakan. Dilihatnya Rayyan dengan wajah yang kusut dan merah padam. Akmal mengurungkan niatnya untuk tidur dan duduk di bibir pembaringan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas atau Halal?
RomanceMuhammad Nazeef Akmal "Cukuplah kucintai kamu dalam hati, menyalurkannya lewat untaian doa, dan menjagamu melalui Allah"