Zahra

301 6 0
                                    


Gemerlap bintang seakan batu intan yang berserakan di bentangan karpet hitam. Seorang gadis sedang duduk santai di balkon rumahnya dan memandangi pemandangan langit malam itu, sambil sesekali meneguk cokelat panas favoritnya. Itu adalah kebiasaannya setiap malam, memandangi langit malam meskipun kegelapan awan menyelimuti.

"Zahra.." panggil seseorang yang entah sejak kapan muncul dari pintu.
Gadis itu menoleh.

Ya. Namanya adalah Zahra, Khairina Azzahra. Ia tersenyum pada orang itu, yang tak lain adalah kakaknya, Zain. "lagi asyik, bang." Ujarnya.

"udah jam Sembilan loh. Besok 'kan hari pertama kamu masuk sekolah?" kata Zain.

Zahra tersenyum lagi. "bentaran lagi deh, bang. Pemandangannya lagi bagus nih, sayang kalo Zahra tidur duluan. Siapa tau nanti ada bintang jatuh." Cerocosnya.

Zain tersenyum mendengar ucapan adiknya itu. Ia pun duduk di sampingnya dan merangkulnya tanpa peduli ia menjadi pusat perhatian para santri putri yang sedang lalu lalang di bawah. Para santri itu selalu baper jika melihat kasih sayang Zain pada Zahra. "emang kamu mau minta apa ke Allah kalo ada bintang jatuh beneran?" Tanya Zain.

"ya Zahra minta biar Allah bikin Ham-" Ia terdiam sambil menutup mulutnya sendiri. Tidak ada yang tahu kalau ia menyukai Hamza, temannya sejak kelas 3 SMP. Bahkan saat ini ia juga satu SMA dengannya.

Diamnya Zahra membuat Zain mengernyitkan dahi, "kenapa berhenti? Kamu mau minta apa emangnya?" Tanya Zain lagi.

Zahra terdiam sambil menatap langit - langit teras, memikirkan jawaban untuk pertanyaan kakaknya. "ah, bang Zain ini kepo deh! Udah ah, Zahra nyuci gelas dulu." Kata Zahra sambil beranjak pergi setelah menyunggingkan senyum manis pada kakaknya. Zain tersenyum, kemudian menyusul masuk dan menutup pintunya.

Pagi harinya, Zahra sudah siap dengan seragam lengkap dan turun dari kamarnya. Saat sampai di dapur, dilihatnya sang ibu tengah berkutat untuk mempersiapkan sarapan. Tak lama kemudian, Zain turun dengan beberapa kitab kuning di tangannya. Zahra mengernyit heran melihatnya. Karena biasanya, Zain berangkat nyalaf sekitar pukul 09.00. "bang? Kok pagi banget berangkatnya?" tanyanya kemudian.

"iya, ada kumpulan pengurus fraksi nanti jam 07.00, Ra. Jadi abang harus berangkat pagi." Jelas Zain.

Zahra mengangguk mengerti. Setelah sarapan, "bun, Zahra berangkat ya? Udah hamper jam tujuh nih." Kata Zahra sambil terburu - buru keluar.

"yah, abangnya ditinggalin. Bun, Zain juga berangkat ya? Assalamu'alaikum.." ucap Zain sambil berjalan cepat keluar rumah mengejar Zahra.

"wa'alaikumussalam.." jawab sang ibu.

Sampai di kelasnya, Zahra meletakkan tasnya di bangku deretan ketiga. Ia sebangku dengan Salfa, sahabatnya. Ketika hendak keluar, ia terkejut melihat Rayyan yang masuk bersama Akmal yang sedang menenteng tasnya. "mas Akmal kan di IPA 1, lalu ngapain dia naroh tasnya disini?" Tanya Zahra dalam hati.

Setelah Akmal menaruh tasnya di bangku Rayyan yang berada tepat di belakangnya, Zahra pun menghampirinya.
"mas Akmal di kelas ini? Bukannya mas Akmal di kelas IPA 1 ya?" Tanya Zahra.

Akmal hanya tersenyum, sementara Rayyan mengusap kepala Zahra, "si kecil jangan kepo ya?" ledeknya sambil tersenyum nakal pada Zahra. Zahra melirik sinis ke arah Rayyan yang mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V pada Zahra.

Merasa tidak ada jawaban dari Akmal, Zahra pun bertanya lagi. "mas, mas Akmal pindah sini?"

Akmal tersenyum, "iya, aku pindah di kelas ini. Disana nggak nyaman." Ujarnya.

Dahi Zahra mengernyit.
"nggak nyaman? Kenapa?" Tanya Zahra.

Lagi - lagi Akmal tersenyum, "nggak papa, Ra. Cuma nggak nyaman aja." Jawabnya sembari berlalu keluar disusul Rayyan.

Zahra memandang heran mereka sampai tak terjangkau oleh matanya dengan pandangan heran. "mas Akmal kenapa?" Tanya Zahra dalam hati.

Siang itu, seusai pelajaran, para siswa menuju musholla sekolah untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur. Kecuali Zahra, ia sedang mengerjakan tugas bersama Salfa. "aku ke toilet dulu ya?" ujar Zahra tiba - tiba sambil buru - buru pergi. Salfa menggeleng melihatnya.

Ketika kembali dari toilet, Zahra mendengar pembicaraan beberapa temannya dari kelas IPA 1. Mereka sedang membicarakan hubungan Akmal dan Diana, kekasih Akmal. Dari situ Zahra tahu, kalau hubungan mereka sudah lama berakhir.

Selama perjalanan menuju kelas, fikirannya masih terpusat pada pembicaraan yang didengarnya tadi. "ya gimana nggak pisah coba? Orang Akmalnya aja kaya gitu. Apa dikit Diana udah kena marah. Ya udah, sama Diana diputusin aja tuh si Akmal."

"masa mas Akmal kaya gitu sih?" tanyanya dalam hati.

Brukk!

Tanpa sadar, Zahra menabrak seseorang tepat di ambang pintu kelas. Saat Zahra mendongak, dilihatnya Akmal sedang tersenyum ke arahnya.
"kamu mikir apa?" tanyanya.

Zahra hanya tersenyum kecut sambil memainkan ujung jilbabnya. Ucapan mereka masih terus terngiang di telinga Zahra dan membuatnya penasaran. Karena setahunya, Akmal bukan tipe anak yang pemarah tanpa alasan.

Akmal mengajak Zahra duduk di teras depan kelasnya, dimana ada taman kecil disana. "kamu jalan sambil ngelamun 'kan tadi? lagi mikirin apa?" tanya Akmal lagi.

Zahra menghembuskan nafasnya pelan. "mas, mas Akmal putus sama mbak Diana ya?" tanya Zahra kemudian. Ia benar - benar penasaran sekarang dengan hubungan mereka.

Dahi Akmal mengernyit, "kamu tahu darimana?"

"Zahra tahu dari anak IPA 1 tadi. Mereka bilang, mbak Diana mutusin mas Akmal karena mas Akmal marahin dia. Jadi mas Akmal pindah kelas karena itu?"

Akmal hanya tersenyum tipis sambil mengangguk.

"kenapa?"

"Tapi kamu percaya? kalau aku nggak mungkin marah tanpa alasan yang jelas?" Tanya Akmal. Zahra mengangguk mantap.

Akmal pun mulai bercerita.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang