Malam Pertama

26 3 0
                                    

Seusai berpamitan dengan keluarga ndalem, Zahra dan keluarga pun akhirnya pulang. Zain meminta Akmal agar ikut pulang ke rumah mereka karena ingin mengawasi perkembangan kondisi Zahra ke depannya setelah insiden sihir itu. Zain khawatir kalau ternyata jin itu masih ada di sekitar mereka. Memahami kekhawatiran Zain, akhirnya Akmal menurut saja setelah mendapat izin dari orang tuanya juga.

“mampir dulu ke rumahku nggak papa ‘kan? Aku mau ambil kitab – kitabku dulu.” Tanya Akmal pada Zahra sambil mengeluarkan motornya di parkiran pesantren.

Zahra mengangguk mengiyakan. “iya, mas. Nggak papa kok..” ujarnya.

Akmal pun melajukan motornya keluar kawasan pesantren setelah Zahra duduk nyaman di boncengannya.

Sesampainya di rumahnya, Akmal menggandeng tangan Zahra dan mengajaknya masuk ke rumah. Namun baru saja sampai di depan pintu, Attharva keluar dari sana. “eh, manten anyar.. tadi katanya pulang ke rumah Zahra?” Tanya Attharva.

“iya, mas. Tapi aku mau ambil keperluanku buat besok di pondok.” Jawab Akmal. “mas Atthar mau pulang?” Tanya Akmal kemudian.

Attharva mengangguk mengiyakan.

“salam buat mbak Asha sama Nashwa ya?”

Attharva tersenyum dan mengangguk, “insyaAllah nanti tak sampaikan. Sekalian mau mas kasih tau kalo adeknya sekarang udah nggak jomblo lagi.” Kata Attharva setengah meledek sehingga membuat Akmal meliriknya kesal.

Attharva terkekeh sembari mengucap salam dan beranjak pulang.

Setelah selesai packing kitab dan beberapa baju, Akmal dan Zahra pun berpamitan pada orang tua Akmal dan pulang ke rumah Zahra. Sebenarnya ibunda Akmal meminta mereka untuk menginap, namun Akmal menolak halus. Ia sendiri masih khawatir dengan kondisi Zahra. Jika sampai kambuh lagi, pasti orang tuanya akan cemas dan tak jadi istirahat. Jadi lebih baik kalau dia menginap di rumah Zahra sampai kondisi Zahra benar – benar membaik.

 “kalau bawa motor hati – hati le.. udah larut malam, istrimu sepertinya juga udah letih.” Pesan sang ibu ketika Akmal membunyikan mesin motornya.

“iya, buk.. Akmal pamit ya? Assalamu’alaikum..” ucap Akmal.

“wa’alaikumussalam..” jawab ibu.

~∞~

"assalamu’alaikum…” ucap Zain sambil memasuki rumahnya disusul bunda Imro’ah. Zain tersenyum sambil menggeleng pelan melihat kedua adik kembarnya terlelap di sofa depan. Tak lama kemudian, seorang gadis manis keluar dari kamar Zain sambil membenahi jilbabnya dan langsung menyalami Zain dan bunda Imro’ah. Dia adalah Zakia, istri Zain.

“maaf, mas.. Zakia tadi abis beresin kamar kita.” Katanya cemas, takut Zain marah padanya.

Zain tersenyum manis, “nggak papa kok. Nggak usah takut gitu.” Kata Zain.

Bunda Imro’ah tersenyum melihat mereka. Ya, Zain sudah membina rumah tangga hampir seminggu ini. Istrinya juga alumni pesantren Nurul Falah Putri.

Bunda Imro’ah lalu membangunkan kedua putra kembarnya yang saat ini mungkin sudah sampai tanah Mekkah. “Le.. bangun le..jangan tidur disini. Sana masuk ke kamar!” kata bunda pelan – pelan membangunkan putra – putranya itu.

Fikri dan Zikri terjaga sambil mengucek kedua matanya. Menyadari kalau bunda sudah pulang, mereka langsung menyalami bunda.

“mbak Zahra gimana, bunda?” Tanya Fikri.

Bunda Imro’ah tersenyum simpul, “mbak Zahra udah nggak papa kok, dia baik – baik saja. Udah, kamu nggak usah khawatir lagi. Tidur gih! Sudah malam sekali ini.” kata bunda.

Fikri mengangguk patuh, ia lalu mengajak Zikri masuk ke kamar dan istirahat.

Ketika kedua putra kembar sudah masuk ke kamar, “bunda kenapa nggak ngasih tau mereka aja?” Tanya Zain pada bunda Imro’ah.

“nggak papa, biar surprise buat mereka besok.” Ujar bunda sambil mengulum senyum.

“emangnya ada apa, mas?” Tanya Zakia bingung.

Bunda tersenyum, “Zahra sudah menikah, Ya. Aqad nikahnya langsung dipimpin sama Kyai Abdur dan Kyai Taufiq, di aula pesantren.” Jawab Bunda.

“Alhamdulillah..” ucapnya. “tapi kondisinya gimana dia sekarang?” Tanya Zakia sedikit khawatir.

“Alhamdulillah dia baik – baik saja sekarang. Tadi katanya dia mau pulang bareng Akmal aja.” Ujar Zain kemudian.

“ooh.. Alhamdulillah.. akhirnya, dia nggak sendiri lagi.” Lirih Zakia.

Tak lama kemudian, terdengar suara mesin motor terparkir di halaman rumah. Zain keluar untuk melihat siapa yang datang.
"tuh! Pengantin barunya udah datang.” Zain memberitahu keluarga kalau yang datang adalah Akmal dan Zahra. Zakia pun ikut mengintip lewat kaca jendela. Mereka saling membantu membawa barang – barang milik Akmal. Zahra yang melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

“Assalamu’alaikum…” ucapnya.

“wa’alaikumussalam…” jawab Bunda, Zain dan Zakia.

Zahra langsung nyelonong masuk menuju kamarnya tanpa bersalaman pada bunda dan yang lainnya. Sementara Akmal masuk dan langsung menyalami keluarga Zahra, lalu kemudian ikut mengobrol sebentar dengan keluarga barunya itu, masih seputar pernikahan mereka tadi.

“aku yakin kau tadi pasti bingung iya, takut iya. Karena mendapat panggilan mendadak dan semalam ini.” kata Zain sambil tertawa kecil.

Akmal meringis mendengarnya. Karena memang itu yang ia rasakan tadi, campur aduk. “ya gimana ya, bang? Soalnya tadi nggak ada persiapan apa – apa. Tiba – tiba disambang terus langsung diajak ke ma’had putri. Mana dawuhe Gus Amar, mau disidang disana. Dan sampai sana, ahli bait hadir semua. Siapa yang nggak panic coba?”

Zain dan yang lain tertawa mendengarnya.

“HUAAAA!!”

BRAKK!

Terdengar suara jeritan kecil disusul suara benturan dari kamar Zahra. Sontak semua yang ada di ruang tamu berlari menuju kamar Zahra, khawatir terjadi sesuatu dengan Zahra.

“ada apa, Ra?” Tanya Akmal ketika sudah sampai di ambang pintu kamar Zahra.

Mendengar suara Akmal, spontan Zahra menyambar jilbab yang semula ia gantung di gantungan baju di dekatnya dan memakainya. Ia lalu menatap Akmal dan anggota keluarganya yang panic karenanya sambil meringis malu.

“kenapa, Ra?” Tanya Zain.

“hehee.. nggak papa kok, bang. Tadi ada cicak disitu.” Ujar Zahra sambil menunjuk ke dinding dekat pintu kamar mandi.

Akmal menepuk dahinya pelan dan menutup matanya sambil mengulum senyum, sementara Zain menggeleng pelan karena itu.

“ya udah, kalian istirahat ya sekarang? Udah jam satu lebih soalnya. Takutnya kalau shubuhannya telat.” Kata bunda.

Mendengar itu, akhirnya semua bubar dan istirahat di kamar masing – masing. Begitu pula Zahra dan Akmal. Namun Akmal masih harus merapikan barang – barangnya, terutama kitab – kitabnya yang cukup banyak.

Ketika membuka kardus kitabnya, Zahra hendak membantu, namun Akmal mencegahnya. “eits! Mau ngapain?” Tanya Akmal sambil mencegah Zahra yang hendak membantunya.

“bantuin mas Akmal.” Jawab Zahra polos.

“kamu istirahat aja, Ra. Muka kamu masih pucat banget itu, nanti kamu kecape’an. Udah, biar aku aja yang ngerapiin, kamu istirahat. Oke?” kata Akmal sambil mengusap lembut kepala Zahra, sehingga membuatnya terpaku sejenak.

“em..i- iya, mas.. Zahra tidur dulu ya?” kata Zahra kemudian sedikit gugup, jantungnya berdegup kencang.

Akmal tersenyum dan mengangguk.

Zahra mundur perlahan kemudian berbalik menuju tempat tidur. Ia merebahkan tubuhnya di kasur setelah menata bantal dan gulingnya. Akmal pun menyusul tidur seusai menata kitab – kitabnya di rak milik Zahra. Ia terpaku sejenak ketika menyadari adanya guling diantara ia dan Zahra. Senyumnya mengembang saat menyadari sesuatu. Ia menggeleng pelan kemudian merebahkan tubuhnya di sisi Zahra. Bukan. Di sisi guling yang membatasi mereka.
 

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang