Perih

9 1 0
                                    

“Rayyan terdiam, sesuatu melintas di benaknya. “apa mungkin ini ulah Gus Daffa?” tanyanya kemudian.

Kang Muna tampak terkejut mendengar ucapan Rayyan. "astaghfirullah..ga boleh su’uddzon sama dzurriyah, cah bagus…” ujar kang Muna sambil mengacak kasar kepala Rayyan hingga pecinya terjatuh.

“ya kalau sama orang itu mana pernah aku su’udzon baik tentang dia?” Rayyan mencebik.

Kang Muna terkekeh mendengar ucapan Rayyan. “heh, kang. Yang namanya su’udzon itu mesti buruk, kalau yang baik itu namanya husnudzon.”

“ya udah biarin aja, terserah saya..” ucap Rayyan sambil berlalu pergi ke dapur untuk mencuci cangkir kopinya.

~∞~

Hari ini adalah hari ketiga Akmal mengajar kembali di kelas Zahra. Selama dua hari mengajar, Akmal belum melihat ada yang aneh dengan sikap Zahra. Mungkin karena ia memang belum bisa mengobrol dengan Zahra. Tapi memang ada yang aneh dengan Zahra, dan ia tidak tau apa itu.

“kamu tuh, kalau pengin lihat Zahra itu berubah apa nggak sama kamu, lihat pas mood dia lagi buruk. Kamu akan bisa membedakan sikap dia dulu dan saat ini ke kamu.” Ucap Rayyan saat ia menceritakan kekhawatirannya atas kondisi Zahra sehingga dia memutuskan menerima tawaran Ustadz Ahmad untuk mengajar kembali di pondok putri.

Setelah berdo’a, seperti biasa para santri ditunjuk untuk membaca pelajaran kemarin satu persatu ke depan kelas. Beberapa anak membaca yang dimakanai kemarin, dan beberapa anak lagi murodi pelajaran kemarin. Dan giliran terakhir adalah Zahra, ia pun maju ke depan untuk murodi, namun dengan wajah yang tampak kesal. Seusai murodi, Akmal mencoba bertanya pada Zahra, “ada apa, Ra?”

“nggak papa, ustadz.” Jawabnya ketus sambil menutup kitabnya dan berjalan ngesot kembali ke tempatnya.

“ciyeee…. Berantem..” Seru teman – teman sekelasnya ketika melihat interaksi mereka tadi, kecuali Ning Ayda. Ia terus memperhatikan Zahra sejak selesai murodi sampai sekarang sudah kembali ke tempatnya. Tiba – tiba Zahra menatap sinis pada teman – temannya sehingga membuat teman – temannya terdiam. Dan hal itu membuat Ning Ayda terkesiap.
Sementara Akmal tak memperhatikan karena sibuk membuka kitabnya mempersiapkan pelajaran yang
ia sampaikan.

Akmal mulai membacakan pelajaran. Hari itu ia membacakan cukup banyak, yang biasanya hanya dua lembar, hari ini tiga lembar bolak – balik. Karena mengejar waktu dimana hari ikhtitam semakin dekat, yakni 3 minggu lagi, dan pelajaran alfiyah masih kurang banyak. Kata paklek Ahmad, usahakan sudah khatam satu minggu ke depan.

“maaf ya? Untuk hari ini saya bacakan agak banyak. Mengingat hari-H semakin dekat, jadi biar segera khatam dan kalian bisa focus untuk melancarkan muhafadzoh alfiyah kalian.” Ujar Akmal.

Dug!

Dug!

Dug!

Dug!

Beberapa anak di sekitar Zahra mulai minggir menjauh darinya karena takut. Pasalnya, Zahra tampak marah pada sang ustadz sehingga ia membentur – benturkan tangannya yang mengepal ke dinding. Ia menatap Akmal dengan tatapan sinis, kesal dan marah, dan jatuhnya tatapan itu seakan seringai yang sangat menyeramkan ke arah Akmal. Sementara Ning Ayda bergidik ngeri melihat tatapan Zahra, ia semakin yakin kalau ada yang salah dengan Zahra.

Akmal yang mulai menyadari ada yang salah dengan suasana kelasnya pun mendongak. Ia heran melihat para santri yang tampak berkumpul di satu sisi sambil menatap takut pada Zahra. Namun di detik berikutnya, ia terkejut saat menyadari tatapan Zahra padanya, ia tampak marah dan kesal. Dan saat itulah Akmal menyadari, kalau mata Zahra yang berbeda, mata itu bukan milik Zahra. ia lalu berusaha tenang dan mendekati Zahra, membuat ning Ayda sedikit khawatir jika Zahra akan menyerang Akmal secara tiba - tiba.

“Zahra, kamu kenapa?” Tanya Akmal.

“saya nggak mau di kelas kamu!” ucap Zahra dingin sambil tersenyum miring pada Akmal, membuat beberapa santri disana bergidik ngeri. Zahra beranjak berdiri dan menyingkap jariknya lalu berlari keluar.

“ehh?? Zahra!” panggil Akmal panik sembari mengejar Zahra yang berlari keluar.

Para santri di kelas itu dilanda panik, sebagian hanya bingung dan takut dengan apa yang terjadi pada Zahra, dan sebagian ikut mengejar Zahra keluar, termasuk Ning Ayda.

“hey ini gimana? Zahra kenapa?” Tanya Aisya bingung.

“kayanya bener deh yang diomongin Ning Ayda, kalau si Zahra itu kesurupan.” Ujar Nahla.

“apa?? Kesurupan??” pekik Mayra tak percaya sekaligus panik.

“udah – udah! Gini deh, aku mau lapor ke kantor pengurus dulu. Kalian disini dulu ya? Jangan panic!” peringat Aisya, ia lalu berlari keluar kelas menuju kantor pengurus untuk melaporkan situasi kompleks kelas tsanawiyah saat ini, menerobos para santri yang bingung dan takut melihat apa yang terjadi pada Zahra.

Sementara itu, Zahra terus berlari hingga ia hampir sampai di tepi balkon, tepat di depan kelas empat tsanawiyah D. namun karena lantai yang licin membuat Zahra tergelincir dan terjatuh.

“Zahra!!” teriak Akmal panik.

Zahra hampir terjatuh dari lantai 3, beruntung ia bisa berpegangan pada tepi lantai dan naik lagi ke salah satu pagar paling bawah. Akmal hendak menolongnya, namun ia malah menatap sinis pada Akmal. “saya nggak butuh kamu! Pergi! Jangan deketin saya! Pergi! Pergi jauh dari saya!” teriak Zahra pada Akmal. Ia terus berteriak mengusir Akmal agar menjauh darinya.

Akhirnya Akmal mundur perlahan. Ning Ayda mencoba mengambil alih dan membantu Zahra agar bisa naik kembali.

Namun belum sampai Zahra meraih tangan Ning Ayda, ia terjatuh. Akmal berteriak panik. Namun beruntung para pengurus sudah menyiapkan matras di bawah sehingga Zahra tidak terluka sedikitpun.

Zahra masih berteriak dan mengumpat tak jelas. Intinya, ia meneriakkan kebenciannya pada Akmal. Dan Akmal mendengarnya, begitu pula para santri yang lain, termasuk Ning Ayda. Ia lalu beranjak pergi dan kembali ke kelas dimana ruangan itu tampak sepi karena semua turun melihat Zahra yang sedang diobati oleh para pengurus. Ingin rasanya Akmal membantu, namun situasi tidak mendukung. Dan yang paling penting, ia harus mengontrol perasaannya yang cukup terluka karena mendengar ucapan Zahra yang penuh kebencian terhadapnya.

Akmal duduk lemas di kursinya. Ia terdiam, ucapan Zahra terus terngiang di telinganya, membuat nafasnya ikut sesak. Matanya memerah dan berkaca. Buru – buru ia merapikan kitab – kitabnya hendak keluar, agar tidak ada yang menyadari lukanya. Namun baru saja ia beranjak, Ning Ayda masuk menghampiri. Akmal pun pamit untuk keluar.

“ustadz yang sabar ya? Mungkin ini salah satu bentuk ujian kalian menuju pernikahan.” Ucap ning Ayda menenangkan.

Akmal tersenyum, menahan getir di hatinya. “terimakasih, Ning. Tolong do’akan kami, agar bisa melalui semua ini.” ucapnya sembari mohon diri.

Ning Ayda mengangguk. Seperginya Akmal dari kelas, Ning Ayda termenung. “berat sekali cobaan mereka.” Gumamnya dalam hati.

Sesaat kemudian, Nahla masuk. “Ning, tadi kang Adib telfon, katanya Gus Alif sudah dalam perjalanan pulang. Tadi sudah keluar bandara.” Kata Nahla.

“Alhamdulillah…” lirihnya lega. Setidaknya ia bisa melakukan sesuatu untuk membantu ustadznya, dan terutama sahabatnya, agar bebas dari pengaruh hal – hal yang buruk. Ia pun buru – buru keluar setelah Nahla selesai merapikan kitab dan buku – bukunya.
 

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang