Angin Dingin

30 1 0
                                    

Seusai mandi, Zahra hendak berganti baju yang sudah disiapkan bundanya untuk menemui keluarga Akmal di acara lamaran nanti. Kebetulan ia juga sedang udzur saat ini, jadi ia punya banyak waktu untuk bersiap – siap. Ketika akan membuka lemari, tiba – tiba saja ia merasa seperti ada yang sedang mengawasinya. Ia pun memperhatikan sekeliling kamarnya dengan teliti. Namun tidak ada apapun yang mencurigakan disana.

Ketika melepas baju dari gantungan, sekelebat bayangan hitam melintas di belakangnya. Hal itu sukses membuat jantung Zahra mulai berdegup tak karuan. Ia menoleh ke belakang, namun tidak ada siapapun disana. Bahkan hewan semacam cicak pun juga tidak ada sama sekali disana. Rasa takut mulai melanda hatinya. “ada apa ya?” tanyanya dalam hati.

Cklek!

Zahra mulai tegang mendengar suara pintu yang terbuka menampakkan kepala Arsya yang menyembul sambil tersenyum. Namun di detik berikutnya Arsya langsung memejamkan matanya karena tepat disaat itu Zahra hendak melepas kimononya.

“hehh!!” teriak Zahra karena terkejut sambil menutup kembali tali kimononya.

“aduhh, kak! maafin Arsya, Arsya nggak ketuk pintu dulu!” ujar Arsya sambil menutup matanya kemudian menutup kembali pintunya.

“dasar itu anak!” gerutu Zahra kesal. Ia pun buru – buru memakai baju gamisnya lalu mengenakan jilbabnya yang senada dengan bajunya dan langsung keluar sambil merapikan jilbabnya. Ia lalu duduk bergabung bersama saudara – saudaranya.

“kamu kenapa sih? Kok kaya ketakutan gitu?” Tanya Zain heran.

“nggak, bang. Zahra nggak papa.” Jawab Zahra sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan raut takutnya. Namun percuma, Zain selalu bisa membaca raut wajahnya.

Ketika Zain hendak bertanya lagi, seseorang memberitahunya bahwa keluarga Akmal sudah tiba di halaman. Ia pun keluar ke teras menyambut kedatangan keluarga Akmal bersama ibunda. Zikri menarik tangan Zahra yang hendak ikut keluar sambil melotot.

“kenapa?” Tanya Zahra.

“mbak, mbok ya ini jilbabmu agak dirapiin gitu. Dikancingin broz atau gimana gitu mbak? biar agak elegan dikit.” Saran Zikri.

“udah gini aja nggak papa.” Kata Zahra sambil merapikan jilbabnya.

🍀🍀

Acara demi acara telah berjalan dengan lancar dan sukses. Ketika makan – makan, Zahra agak canggung karena ayah Akmal meminta sang putra untuk duduk di dekatnya. Saat sudah duduk berdekatan, hanya jarak beberapa centi saja, hanya saling diam. Tak ada yang bicara, masih sama – sama canggung.

Selang beberapa menit kemudian, “Ra..” panggil Akmal mulai membuka percakapan.
 
Zahra menoleh, “dalem..” jawabnya.

“ee…apa anak – anak sekelas udah tau tentang lamaran itu?” Tanya Akmal kemudian. Pertanyaan itu sudah mengganggu benaknya sejak siang tadi.

Zahra menggeleng, “nggak tau kok. Yang tau Cuma Ning Ayda sama Mayra sih, mas. Kalo yang lain kayanya nggak.” Kata Zahra sambil menatap langit – langit teras.

“nah, itu. Kok itu anak dua bisa tau sih?”

Zahra meringis mendengarnya. “kalo Mayra, itu taunya dari Zahra, mas. Kalo Ning Ayda, itu hasil nguping.” Ujarnya sambil menutup mulutnya.

Akmal mengernyitkan dahi, “nguping?” tanyanya dalam hati. Di detik berikutnya, matanya melebar saat teringat sesuatu. “pas kamu abis setoran di kantor waktu itu? Pas Ning Ayda tiba – tiba muncul?” Tanya Akmal memastikan.

Zahra mengangguk cepat sambil cengingisan.

Akmal menepuk dahinya pelan, “duh! ya Allah…harus waspada ini. Bisa – bisa seantero pondok putri akan tahu tentang hal ini.” Lirih Akmal.

Zahra terkekeh mendengarnya. “mas Akmal tenang aja, Ning Ayda udah janji kok sama Zahra nggak akan ngomong ke siapapun.” Katanya.

“kamu yakin?” Tanya Akmal memastikan.

“nggak.” Jawab Zahra asal sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil cengengesan, membuat Akmal terkekeh melihatnya. “kemarin aja dia ngasih tau Ning Asma’ tentang ini. Mana mas Akmal pake’ jadi penderek juga lagi.”

“ya sebenarnya sih nggak papa kalau anak sekelas tahu soal ini. Lagian ini juga bukan kabar buruk ‘kan? Cuma yang aku takutin kalau ini jadi bahan ledekan mereka ke kamu, kaya kemarin.” Kata Akmal kemudian.

Zahra tertawa kecil mendengarnya, “ya kalau aku sih udah biasa diledekin mereka mas. Atau jangan – jangan mas Akmal sendiri yang malu?” ledek Zahra.

Akmal menatap Zahra sambil mengernyitkan dahinya. “ihh, apaan sih? Ya nggak dong. Ngapain ju-”

“ustadz Nazeef?” terdengar suara seseorang menyebut nama Akmal dari belakang. Ketika Akmal dan Zahra menoleh, ternyata pemilik suara itu adalah Arsya. Arsya lalu menghampiri Akmal dan menyalaminya dengan penuh takzim, namun Akmal segera menarik tangannya.

“lhoh? Arsya toh? Gimana kabarnya, kang? Udah lama nggak ketemu.” Tanya Akmal sambil tersenyum manis pada Arsya.

Arsya terkekeh mendengarnya. “masih seminggu, Tadz.. masa udah lama sih?” ujar Arsya.

“ya lama toh. Lha wong seminggu itu tujuh hari, apalagi kamu itu ‘kan terhitung santri paling rajin di madrasah.”

Zahra yang sejak tadi diam mendengarkan pun akhirnya bersuara, “wuihh! Santri paling rajin! Eh, jadi anak ini murid kamu, mas?” Tanya Zahra sambil menoyor peci Arsya. Arsya pun mendelik kesal pada Zahra sambil membenahi pecinya.

“iya, Ra. Kelompok MPQ-nya dia aku yang pegang.” Jawab Akmal. Zahra manggut – manggut mengerti mendengarnya.

“ooh…gitu? Dia nakal nggak mas di madrasah? Kalo nakal jewer aja, mas!” ucap Zahra sambil melirik Arsya yang memandangnya kesal.

“permisi! Saya anak baik, bukan anak nakal.” Celetuk Arsya kesal. Zahra tertawa mendengarnya.

“nah tuh! Katanya anak baik ‘kan? Ngambekan tuh!” ledek Zahra.

“kakak…!” gerutu Arsya kesal. Zahra tertawa kecil melihat Arsya yang tampak kesal karenanya. Begitu pula Akmal.

“oh iya, kamu kok bisa disini? Saudaranya Zahra ya?” Tanya Akmal.

Arsya mengangguk pada Akmal. “iya, ustadz. Dia ini kakak sepupu saya yang paling jail.”

“dan kamu adik sepupuku yang ngambekan.” Sambung Zahra, membuat Arsya kembali mendelik kesal menatapnya.

“namanya ustadz itu ada dua ya? Nazeef sama Akmal? Soalnya pas Arsya Tanya kak Zain tadi nama calonnya kak Zahra Akmal, bukan Nazeef.”

Akmal tersenyum mendengarnya, “nama lengkap saya itu Muhammad Nazeef Akmal, bisa dipanggil Nazeef, bisa juga dipanggil Akmal. Faham?” Tanya Akmal sambil tersenyum manis. Arsya cengengesan dan mengangguk mengerti.

“Ustadz, kalo udah nikah nanti, ustadz hati – hati ya sama kak Zahra? Dia itu tidurnya ngileran, suka ngeledek orang, ngambekan, terus ja-” ucapan Arsya terhenti karena Zahra membekap mulutnya.

“heh..! heeh..! udah diem! Seneng banget kalo jelekin kakaknya.” Kata Zahra. Akmal tertawa kecil melihat tingkah mereka berdua.

Karena malam mulai larut, tamu dari keluarga Akmal pun mohon diri. Saat semua tamu telah pergi, Zahra baru mengambil makanan dan minuman yang disuguhkan tadi. Namun ketika hendak minum, angin dingin berhembus lembut menerpanya.

Prangg!!

Gelas yang diambil Zahra terjatuh dan pecah bersamaan dengan tubuh Zahra yang limbung dan tergeletak tak sadarkan diri. “mbak!!” pekik Zikri yang kebetulan ada di dekat meja makan. Ia pun langsung menggendong Zahra ke kamarnya. Arsya dan yang lain juga tampak panik melihat Zahra yang tiba – tiba pingsan.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang