Pertemuan yang Tak Terduga

35 2 0
                                    

“Baaaaang!! Buruan dong mandinya!!” teriak Zahra dari luar.

Pagi itu diawali oleh teriakan Zahra dari teras setelah ia panik karena sahabatnya, Mayra, hari ini tidak masuk sekolah. Padahal mulai hari ini ia harus tiba di pesantren pukul 6 tepat. Namun ini sudah pukul 6 lewat 15 menit, membuatnya semakin kelabakan. Apalagi Zain masih belum keluar juga.

“abaaaaang!!” teriak Zahra sekali lagi.

Tak lama, Zain keluar sambil membenahi rambutnya seraya memakai pecinya. “iya…iya…abang udah selesai nih!” ujar Zain kemudian menaiki motornya. “ayo!” ajak Zain.

“abang nih kaya perempuan deh, mandi setahun!” ledek Zahra sambil naik di boncengan.

“ehh, ralat! Bukan setahun, tapi sepuluh menit doang! Itu aja juga udah persiapannya sekalian.” Bantah Zain tak terima seraya melajukan motornya.

Sampai di depan gapura pesantren, Zahra terburu – buru memasuki kawasan madrasah sambil sedikit menaikkan jariknya agar lebih leluasa untuknya berlari. “kacau deh! Gara – gara si Mayra nih, nggak ngabarin kalo dia nggak masuk, jadi telat ‘kan Zahra-nya?” gerutunya dalam hati. Ia terus berlari menaiki beberapa anak tangga untuk sampai di kelasnya yang ada di lantai 2.

Ketika sampai di depan kelas, ia tertegun sebentar ketika melihat pria yang sedang menulis pelajaran di depan. Ia lalu masuk diam – diam lalu bertanya pada salah satu teman sekelasnya yang merupakan putri pengasuh pesantren Nurul Falah putri, Ning Ayda namanya. “Ning, guru badalan ya?” Tanyanya setengah berbisik setelah sungkem pada Ning Ayda.

Ning Ayda mengangguk, “iya, sih. Beliau itu yang gantiin Ustadz Ahmad ngajar nahwu selama ustadz Ahmad haji. Dengar – dengar dari mbak – mbak pengurus, katanya dia itu keponakannya ustadz Ahmad. Terus dia juga masih Musyawirin tingkat 3.” Jelas Ning Ayda. Zahra manggut – manggut mengerti.

Ia lalu maju menghampiri pria yang saat ini ‘menjabat’ sebagai gurunya itu dengan lutut atau istilah jawanya ngesot dan sedikit menundukkan pandangannya, etika seorang santri pada guru yang berlaku di madrasahnya seperti itu.

“assalamu’alaikum..sepuntene, ustadz.. kulo telat..” ujarnya sopan.

Pria itu menoleh ke bawah, menatap santriwati yang sedang meminta izin padanya. Seketika mimik wajah pria yang tak lain adalah Akmal itu berubah terkejut, “Zahra??” lirihnya tak percaya.

Meski pelan namun jelas terdengar oleh Zahra sehingga membuatnya memberanikan diri untuk mendongak menatap pria itu. Tak jauh beda dari Akmal, Zahra pun terkejut ketika tahu pria yang berdiri sebagai gurunya itu adalah Akmal. “mas Ak-” lirih Zahra yang kemudian langsung menutup mulutnya, sadar bahwa posisinya sekarang adalah murid Akmal. Meski wajah Akmal agak sedikit berbeda, dengan kumis tipis dan jenggot tipis di dagunya serta memakai kacamata, namun Zahra masih bisa mengenalinya. Ia lalu menunduk, sementara Akmal menatap ke belakang, melihat suasana kelas saat ini. Untunglah jarak antara tempat duduk murid dan guru disini agak jauh, jadi tidak ada yang menyadari apa yang terjadi saat ini.

Hanya Allah yang tahu, betapa gembiranya Akmal bisa bertemu kembali dengan Zahra. Meskipun posisinya sekarang Zahra adalah muridnya. Ia berusaha menormalkan kembali mimic wajahnya yang sebelumnya terlihat begitu bahagia. “ya sudah, duduklah..” kata Akmal. Gadis itu lalu berjalan mundur menuju tempat duduknya. Perlahan, rasa sesak itu mulai mereda dalam hatinya.

Bel tanda pulang berbunyi. Akmal bersyukur karena hari pertamanya mengajar berjalan dengan lancar.  Setelah Akmal keluar, Zahra menghirup nafas lega. Selama 4 jam, ia terus berusaha menguasai dirinya. Entah kenapa, lama tak berjumpa dengan Akmal membuat jantung Zahra berdegup kencang ketika kembali bertemu dengan Akmal. Ia sendiri heran, apa yang sedang terjadi padanya. Ia masih tidak percaya, kalau guru pengganti Ustadz Ahmad selama 4 bulan ke depan adalah Akmal.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang