Ujian Terakhir

21 2 0
                                    

Ketika sampai di tengah kompleks putri, Akmal baru ingat kalau dia melupakan kacamatanya di dalam kelas. Ia pun berbalik untuk mengambil kacamatanya disana dengan berjalan cepat. Namun ketika hendak menaiki tangga, dilihatnya Zahra berlari dari atas menuruni tangga. Saat dirinya hendak sampai pada Akmal, lantai dasar yang licin membuat Zahra kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Beruntung Akmal dengan sigap menangkap tangan Zahra agar kepalanya tidak membentur pegangan tangga.

Sejenak tatapan mereka bertemu, namun Zahra langsung menarik tangannya seiring suara riuh baper para santri yang kebetulan ada disana. “ee.. sepuntene, ustadz..” ujar Zahra sambil menunduk. Akmal hanya mengangguk gugup.

“lain kali kalau jalan hati – hati, jangan lari – larian di tangga.” Nasehat Akmal. Zahra mengangguk sambil menunduk.

Suasana hening selama beberapa detik.

“oh iya, mas, ehh!” spontan Zahra menutup mulutnya ketika menyadari posisi Akmal saat ini. “ee.. Maksud kulo, ustadz. emm… ini kacamata ustadz, tadi ketinggalan di meja.” Ujar Zahra sambil memberikan kacamata itu pada Akmal. Akmal pun menerimanya, lalu memasukkannya ke dalam saku.

“terima kasih, Zahra..” lirih Akmal.

“iya, ustadz. Sama – sama. Kalau begitu, saya permisi.” Kata Zahra.

Akmal mengangguk ketika Zahra meminta izin padanya untuk melanjutkan kegiatannya membereskan kelas. Akmal masih mematung di tempat, menatap Zahra yang berjalan menaiki tangga hingga lenyap dari pandangannya. “andai kamu tahu, Ra. Aku kangen banget sama kamu.” Lirih Akmal dalam hati.

Namun siapa sangka, Zahra mendadak jadi merasa gugup, kikuk, dan grogi jika berhadapan dengan Akmal. Bahkan sampai sekarang, ia masih duduk di salah satu bangku paling belakang, sebab kakinya masih bergetar karena insiden terpeleset di tangga tadi. Bukan hanya kakinya, tapi hatinya juga bergejolak hebat karena insiden itu. “Ya Allah, sebenarnya aku ini kenapa?” tanyanya dalam hati.

Tak terasa, sudah dua bulan lebih Akmal mengajar di pondok putri. Dan hari ini, adalah hari pertama para santriwati menjalani ujian nisfussanah. Akmal beharap semoga ujian santriwati yang ia pegang saat ini berjalan lancar dengan hasil yang memuaskan, khususnya untuk Zahra. Tak pernah lupa, ia menyematkan nama Zahra dalam daftar do’anya sekaligus tawassulnya, di sholat fardhu atau sunnahnya.

Suatu malam, Rayyan duduk di sisi Akmal yang sedang khusyu’ melafadzkan surah fatihah dalam sirr-nya dengan tangan kanan menyentuh dada. Rayyan tersenyum melihatnya, ia tahu jika Akmal sedang mengirimkan do’a terbaik dan juga Al - Fatihah untuk Zahra. Rayyan kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya, melegal kitab para santri untuk hasil akhir ujian dalam rapor.

“ngelegal kelas berapa kamu, Yan?” Tanya Akmal sambil melipat sajadahnya.

“kelas 1 sampe 3 tsanawiyah.” Jawab Rayyan sambil menyematkan cap legalisir di buku para santri.

Akmal membantu Rayyan melegal kitab para santri sambil melirihkan sholawat. “ikhtiar ya?” Tanya Rayyan kemudian.

Akmal tersenyum kecil, “biar dibantu juga sama kanjeng nabi.” Ujarnya. Namun tiba – tiba, lirihan sholawat Akmal berganti menjadi lirihan istighfar. Pemuda itu bergegas menuju meja tempat ia menyimpan laptopnya. Kemudian menyalakan laptopnya seraya menghubungkannya pada printer.

“mau nge-print apaan, Mal?” Tanya Rayyan heran.

Akmal membenarkan kacamatanya lalu mulai fokus menggerakkan kursor. “absennya santri putri.”
“kamu jadi nguji mereka besok?”

Akmal mengangguk cepat tanpa mengalihkan fokusnya dari laptop. Seusai mencetak absen santriwati di kertas HVS, Akmal memasukkan kertas tersebut ke dalam map biru dan meletakkannya di dekat kitab – kitab yang akan ia bawa besok.

Ikhlas atau Halal?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang