Siang itu, Zahra duduk di teras ruang tamu pondok menanti jemputan abangnya. Ia menunggu sambil melancarkan hafalannya yang akan ia setorkan pada Akmal besok siang. Namun ia selalu gagal fokus, hatinya masih belum bisa tenang sejak lamaran yang datang malam itu. Padahal, ini sudah hari ketiga semenjak lamaran itu tiba. Dan sampai sekarang, Zain belum memberi jawaban apapun padanya.
Beberapa saat kemudian, seorang gadis duduk di sebelahnya yang tak lain adalah Ning Ayda. “fokus banget, Ra?”Tanya Ning Ayda.
Zahra yang baru menyadari keberadaan Ning Ayda itu pun langsung menyalaminya. “hehe…nggak juga kok, Ning..” ujarnya sambil tersenyum tipis.
“oh iya, ini!” Ning Ayda tiba – tiba menyodorkan sejumlah uang yang cukup banyak pada Zahra dan membuat Zahra terhenyak.
“apa ini, Ning?” tanyanya.
“lupa ya kamu?” Tanya Ning Ayda sambil menunjuk ke arah Zahra yang masih melongo saat ini. “besok ‘kan ulang tahunnya Ustadz Nazeef, Zahra.. ya Allah..” lanjut Ning Ayda sambil menepuk dahinya sendiri. “ini uang hasil patungan anak – anak sekelas, termasuk kamu. Dan kamu juga kebagian tugas yang beli kado. Lupa ya kamu?” Tanya Ning Ayda lagi.
Zahra cengengesan pada Ning Ayda. Ia baru ingat soal itu. Fikiran Zahra memang sedang kacau beberapa hari semenjak datangnya dua lamaran itu. Hingga ia jadi melupakan beberapa hal, termasuk tugas dari Ning Ayda. “hehehehe…lupa aku, Ning. Maaf…” lirihnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Ning Ayda tersenyum dan mengangguk. Zahra lalu menerima uang tersebut, “lalu mau dibeliin apa ini, Ning?” Tanya Zahra kemudian.
“em….pengennya anak – anak sih baju koko sama sarung aja, Ra.. tapi ntar cariin yang match gitu ya? Terus warnanya juga kalo bisa kesukaannya Ustadz Nazeef. Kamu pasti tahu ‘kan warna favoritnya Ustadz Nazeef?” tanya Ning Ayda,
Zahra mengangguk.
“sekalian pesenin kuenya juga ya?”lanjut Ning Ayda.
Dahi Zahra mengernyit. “katanya kemarin Aisya yang bikinin ‘kan, Ning?” Tanya Zahra mencoba mengingatkan.
Ning Ayda terdiam. Ia lalu menepuk dahinya sendiri saat mengingat sesuatu. “iya, Ra. Aku lupa! Ya Allah, si Nahla belum tak kasih uang juga lagi. ‘kan yang belanja bahan kue dia? Bisa lupa ya aku?” ujar Ning Ayda. Ia lalu membenahi jarik yang dipakainya setelah berdiri kemudian menyambar kitab di dekat Zahra sambil berlalu pergi. “cariin baju yang bagus ya, Ra? Da da!” katanya sambil melambaikan tangan pada Zahra kemudian berlari sambil mengangkat sisi jariknya.
Zahra tersenyum sambil menggeleng melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. Meskipun dia adalah putri dari pengasuh pondok, tapi dia tidak pernah sekalipun menunjukkan posisinya. Ia ingin teman – teman menganggap dirinya sama seperti teman – teman yang lain, tidak mau diistimewakan.
Sore harinya, Zahra pergi bersama Mayra ke toko baju yang lumayan dekat dengan rumahnya. “tadi Ning Ayda bilang, warnanya yang favoritnya Ustadz Nazeef. Dan warna favorit Ustadz Nazeef itu, kalo nggak salah warna hitam.” Ujar Zahra pada Mayra saat mereka memasuki toko baju itu.
Mayra melirik ke arah Zahra, “yang bener aja kamu, Ra? Kalo Ning Ayda mintanya yang match, masa iya kita beli warna hitam semua? Kaya orang ta’ziah dong ntar Ustadz Nazeefnya.” Protes Mayra.
Zahra cengengesan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “hehe…iya juga ya? Abis aku lupa Ustadz Nazeef itu suka warna apa lagi selain hitam..” katanya. Zahra lalu mencoba mengingat – ingat warna kesukaan Akmal lagi.
Cukup lama ia berdiam, akhirnya ketemu. Dulu, jaket kesayangan Akmal berwarna merah maroon. “eh, merah maroon! Ustadz Nazeef suka warna itu.” Ujarnya kemudian. Mayra mengangguk, mereka lalu mulai mencari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ikhlas atau Halal?
DragosteMuhammad Nazeef Akmal "Cukuplah kucintai kamu dalam hati, menyalurkannya lewat untaian doa, dan menjagamu melalui Allah"