Selalu jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri.
◦ • ●★● • ◦Pagi kembali tiba, meski perlahan Fajar mulai tiada, namun terik indahnya sang surya kembali hadir menyapa, semangat baru pun kembali berkobar di dada, bersiap untuk melalui hari ini dengan suka dan cinta.
Sebagai seorang pelajar, Hawa mesti bersiap untuk kembali berangkat ke sekolah pada pagi ini setelah kemarin sempat mendapat libur, namun hari ini ia sudah harus kembali bersekolah.
Di gendongnya tas berwarna hitam itu dan seragam sekolah yang telah melekat di tubuhnya dengan hijabnya sekalian. Sebagai seorang muslimah, hijab telah menjadi hal utama yang tidak boleh dilupakan untuk dikenakan sebelum berpergian karena sebaik-baiknya muslimah adalah dia yang menutup auratnya.
Banyak sekali keuntungan yang didapat jika seorang muslimah menutup rambutnya dengan hijabnya, selain bisa menjaga kehormatan dan menjaga diri dari segala kemaksiatan, nyatanya memakai hijab bagi seorang muslimah bisa menarik langkah Ayahnya agar tidak terjerembab ke dalam panasnya api neraka. Tak hanya Ayah, namun adik laki-laki, bahkan suaminya juga bisa ia tolong dengan cara demikian.
Bagi Hawa sendiri, ia telah mengenal hijab semenjak ia kecil. Kedua orangtuanya selalu membiasakannya untuk memakai hijab di usai yang masih balita. Bukan bertujuan untuk memaksa, namun untuk membiasakan sedari dini. Karena dampaknya hingga kini, Hawa sudah berhasil menutup auratnya meski belum sesempurna perempuan diluar sana, setidaknya ia sudah istiqomah dengan hijab dan gamisnya.
Hawa kali ini berangkat sekolah dengan diantar oleh Abinya. Sudah beberapa hari ini Hawa memang tidak lagi berangkat atau bahkan pulang bersama Wildan karena kejadian kala itu yang masih membuat Hawa canggung sampai sekarang.
Seperti biasa, Hawa tidak hanya sendiri, ia juga bersama Haura, sang Adik, agar bisa diantarkan bersamaan dengannya. Karena memang sekolah mereka satu arah.
"Tumben, beberapa hari ini kamu ngga bareng Wildan, Kak?" tanya Ahkam memecah lamunan Hawa dalam perjalanan.
"Iya, biasanya 'kan Kak Hawa sama Kak Wildan. Berangkat bareng, pulang bareng, kemana-mana juga bareng." sambung Haura.
"Nggapapa. Ngga enak aja tiap hari nebeng terus." balas Hawa singkat.
"Bukan karena lagi marahan 'kan?" tebak Ahkam membuat Hawa langsung melempar tatapan kearahnya.
"Engga." ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Emang salah ya kalo Hawa berangkat dianter Abi?" tanyanya.
"Ngga gitu Nak. Ya Allah kamu ini suudzon terus, persis kayak Umimu." Ahkam sedikit terkekeh.
"Hawa 'kan anaknya Ummi, ya jelas persis Ummi dong Bi." lanjutnya.
"Iya dah terserah kamu." tukas Ahkam yang matanya masih mengarah menatap jalanan.
"Bi," panggil Hawa tiba-tiba membuat Ahkam menoleh kearahnya.
"Salah ngga sih kalo kita ngga percaya sama ucapan seseorang?" tanya Hawa tiba-tiba.
"Tergantung. Kalo ucapan itu memang benar, ya kita harus percaya. Tapi kalo ternyata ucapan itu hanya kebohongan belaka, kita ngga perlu percaya." jawab Ahkam dengan enteng.
"Kalo ternyata ucapan itu benar, tapi kita tetep ngga mau percaya, apa kita salah Bi?" lanjutnya.
"Mempercayai tak selamanya harus membenarkan. Kita bisa percaya meski kita tak tau kebenarannya." jelasnya. "Emangnya ucapan apa yang bikin kamu ngga percaya?" tanya Ahkam setelahnya.
Hawa menggeleng. "Ngga Bi. Ngga ada ucapan apa-apa." elaknya.
"Terus kenapa kamu tiba-tiba nanya gitu sama Abi?" Ahkam kembali bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAWA untuk ADAM [END]
Spiritual[TeenFict-Spiritual] (SEQUEL AISYAHKU, AKU CINTA) "𝘒𝘢𝘭𝘰 𝘭𝘰 𝘣𝘪𝘥𝘢𝘥𝘢𝘳𝘪, 𝘨𝘶𝘦 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘺𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢. 𝘉𝘪𝘢𝘳 𝘭𝘰 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘯𝘨, 𝘥𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘣𝘪𝘥𝘢𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘮𝘱𝘶𝘳𝘯𝘢." ◦ • ●★● • ◦ Muhamma...