41- Khawatir tandanya?

1K 206 153
                                    

Perempuan cenderung pandai menyimpan perasaannya, tapi perempuan tidak pandai untuk menahan kekhawatirannya.

◦ • ●★● • ◦

Pondok Pesantren Al-Firdaus. Tempat yang dulu sangat ia benci, kini Adam datangi lagi. Setelah sekian lamanya ia tidak pernah kemari, namun tak ada yang beda dari tempat ini.

Adam melangkahkan kakinya memasuki pesantren tersebut. Ia menjumpai beberapa santri yang tak sungkan untuk menyapa dirinya diiringi tatapan yang tak biasa karena tentu saja mereka tahu jika Adam adalah cucu pemilik pesantren ini. Tapi, dulu ketika ia kemari, ia tidak pernah berpakaian rapih seperti saat ini.

Kemarinya Adam kesini bukan tanpa maksud. Ia sengaja mengunjungi pesantren ini selain karena ingin bersilaturahmi dengan Kakek dan neneknya, Adam juga ingin menghadiri acara khataman qur'an yang tentu saja diikuti oleh salah satu santri yang selama ini menjadi gurunya, siapa lagi jika bukan Hawa.

Hari ini tepat memasuki awal semester 2 di tahun terakhirnya sebagai siswa kelas 12, Hawa berhasil menyelesaikan hafalan qur'annya sehingga pada hari ini ia akan mengikuti acara khataman tersebut.

Setelah singgah di Ndalem untuk bersilaturahmi, Adam menuju lapangan tempat acara berlangsung karena memang acara sudah dimulai.

Adam belum menemukan keberadaan Hawa maupun orangtuanya yang kabarnya datang juga sebab tentu saja mereka diundang untuk menyaksikan anak mereka mengikuti acara ini.

Acara yang tengah berlangsung saat ini adalah sambutan dari Kakeknya selaku pemilik pesantren ini. Sekilas Adam tersenyum, ia pernah bermimpi menjadi seseorang seperti kakeknya tapi ia sadar, ia tidak memiliki banyak ilmu yang bisa diajarkan ke orang lain. Bahkan, ia juga masih haus ilmu.

Bersambung ke acara inti. Suasana mendadak haru begitu para Hafidz dan Hafidzah menyanyikan lagu hafidz qur'an lalu memberikan mahkota ke orang tua mereka masing-masing. Tanpa sadar air mata Adam ikut jatuh. Jika saja dulu ia tidak tersesat di dalam pergaulan yang menyesatkan, mungkin ia bisa melakukan hal seperti yang ia lihat saat ini dan disaat orangtuanya masih ada. Namun lagi-lagi semuanya terlambat.

Meski begitu, Adam tetap bersyukur, ia bersyukur karena Allah masih memberinya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik, dan itu tandanya, Allah masih menyayanginya.

Setelah berlangsung cukup lama, acara selesai. Adam segera saja bangkit dari duduknya lalu segera mencari keberadaan Hawa.

Adam mendapati bidadari sholihahnya yang begitu cantik dengan balutan busana syar'i tengah bersama kedua orang tua sekaligus adiknya. Adam menyapa mereka, termasuk kedua orangtuanya yang tentu saja sudah sangat Adam kenal.

"Selamat ya Wa. Sekarang udah resmi jadi hafidzah, semoga bisa dijaga hafalannya." ujar Adam tepat di depannya seraya memberi sebuket bunga yang memang sedari tadi ia bawa.

Hawa menerima bunga itu. "Aamiin in syaa Allah. Makasih ya Dam. Kamu juga, jangan capek-capek buat hafalin qur'an." balasnya yang tentu saja diiyakan oleh Adam.

Sebenarnya Adam merasa tak pantas diri. Ia berani mencintai seorang perempuan yang ilmu dan hafalannya jauh lebih tinggi darinya. Berbanding terbalik dengan dirinya sendiri. Tapi, hal itu justru Adam jadikan motivasi untuk semakin semangat.

"Sekarang, kayaknya kamu udah kayak dipanggil Gus," celetuk Hawa tiba-tiba membuat Adam menatap maniknya.

Adam terkekeh. "Ngga. Adam aja, ngga papa." terangnya.

"Kenapa kamu ngga mau dipanggil Gus?" tanya Ahkam sedikit mengejutkannya.

"Ngga papa, Om. Lebih nyaman dipanggil nama sendiri. Lagian dulu 'kan..." ujar Adam menghentikan ucapannya. "Yaa.. Om tau sendiri." Adam terkekeh lagi.

HAWA untuk ADAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang