Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.***
"Dunia itu enggak pernah menyembunyikan sesuatu, Shan."
Pembahasan mulai berat, Shania diam. Menunggu Reza melanjutkan ucapan. Namun, sekian masa hening, tiada suara lagi. Meski lidahnya sudah hendak berkilah, sebisa mungkin Shania tahan.
"Orang-orang lupa dunia bisa dimanipulasi. Bukan hanya oleh manusia gelimang harta atau berkuasa, tapi lebih kepada insan yang pandai memanfaatkan peluang."
Tidak ingin hanya diam, Shania unjuk suara. "Orang cerdik?"
Reza menggeleng. "Licik," tandasnya, "mentang-mentang penampilan gue urakan, si Iblis Bermata Dua itu dengan mudah membalikkan keadaan."
Shania mengangkat tangan pelan, meminta izin bicara. "Gue enggak ngerti Kakak ngomong apa."
"Gue juga enggak tau harus mulai dari mana. Coba pancing, Cing."
Kepala Shania agak terteleng. "Apa, ya?" Dia mulai bermonolog. Asyik tampaknya. "Dulu kalian bertiga temen sejak kecil atau gimana?"
Tangan Reza merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok. Dia menoleh. "Rokok, Shan?" Reza tertawa pelan ketika Shania langsung menggeleng. "Bercanda."
Namun, dia sungguhan menyalakan pemantik api, membakar ujung benda bernikotin tersebut. "Persahabatan ala anak TK. Lanjut ke SD, terakhir SMP. Oh, berakhir waktu kami kelas 2 SMA. Gue kira bakal selanggeng orang-orang. Katanya persahabatan lebih dari delapan tahun berarti selamanya. Lo tau, Shan?" Reza mendekat pada Shania, membuat gadis itu menahan napas. "Semua itu bullshit."
Shania benar-benar kehilangan kalimat. Lidahnya membeku. Dia menatap gusar Reza yang tengah mengembuskan asap rokok.
"Cerita ini ibarat prisma segitiga. Tiga sisinya dari gue, Thesa, dan Redaf. Bagian alas ada pendapat dari pengamat kayak lo, sedangkan tutupnya berisi pembenaran dari Yang Maha Tahu."
Baru Shania sadari, bahasa Reza terlalu tinggi. Dia tidak bisa mengerti apa yang Reza maksud. Namun, tidak pula Shania ingin bertanya. Cukup tahu diri untuk tidak macam-macam.
"Gue mau denger versi Kak Reza."
Kepala Reza kembali menoleh sembilan puluh derajat ke kanan. "Kenapa?"
Shania tersenyum lebar, lesung pipinya sampai terlihat. "Karena gue percaya ke Kakak."
Reza terkekeh. "Redaf? Jangan bilang dia enggak penting karena--"
"Shania lebih percaya ke Kak Reza, oke?"
Woah, sial. Reza membuang wajah, enggan menatap Shania yang terlihat manis. Tidak ingin membahas tentang kepercayaan yang tadi dibicarakan.
"Seperti yang lo tau, rumah gue jaraknya paling jauh dari mereka. Otomatis, Thesa dan Redaf lebih banyak main bareng. Maka dari itu, kami pilih danau di Perumahan Kristal buat jadi base camp. Sepulang sekolah pasti dianter sopir Thesa ke sana, terus dijemput orang tua masing-masing. Zaman itu pokoknya seru, enggak kenal gadget, cinta-cintaan, atau yang lain." Reza memulai cerita panjang itu dengan prolog yang tidak bisa disebut pendek.
Berkali-kali menghirup asap rokok Shania membuat gadis itu menahan napas. Dia alergi asap rokok, tetapi tidak enak jika mengatakan hal itu pada Reza. Jadilah Shania menyimak kisah sambil mati-matian tidak menghirup asap.
Jika Reza sedang mengisap rokok dalam, Shania akan memasok paru-paru dengan oksigen. Meminimalisir asap rokok masuk ke alveolus.
"Dulu gue selalu ngelakuin apa pun demi Thesa dan Redaf. Gue mau disuruh beli jajan buat mereka. Rela manjat pohon sampe jatoh demi ambil mangga. Dihukum demi bebasin Redaf dari kesalahannya. Dimarahin dan ngakuin hal-hal yang padahal enggak pernah gue lakuin.
"Dua belas tahun gue dimanfaatin dan baru sadar ketika SMA kelas dua. Itu puncak gue marah banget sama mereka. Sesuatu yang enggak bisa ditoleransi dan ngakuin itu jadi kesalahan gue."
Shania mulai mengabaikan kepulan asap rokok. "Mereka ngapain?"
Senyum terbit dari bibir Reza. "Gue emang perokok, tapi enggak mau orang lain ikut rugi. Waktu itu, pulang sekolah, gue liat sendiri Thesa ngerokok. Redaf yang nawarin, padahal kami sama-sama tau, Thesa punya asma. Di situ, Redaf liat gue." Shania mematung ketika lagi-lagi Reza menatapnya sarat duka. "Tau apa yang terjadi?"
Shania menggeleng patah-patah. Napasnya tercekat. "A-pa?"
Reza menghirup dalam rokok di tangannya sampai habis, kemudian mengambil batang ketiga. Menyulutnya cepat, mengulang hal yang sama. Sampai total sudah enam puntung rokok di asbak tanah liat.
"K-Kak, udah, jangan terlalu banyak ngerokok," kata Shania.
"Kenapa?" tanya Reza.
Kalau kelemahannya bisa membuat Reza berhenti, Shania akan mengatakan itu. "Gue alergi asap rokok."
Reza menatap lamat-lamat bola mata Shania, mencari kebohongan yang sayang tidak ditemukan. "Sejak kapan lo tahan napas?"
"Udah, ya?"
Reza melempar rokok yang baru dinyalakan itu ke asbak, menyiram puntung-puntung tadi dengan air mineral sampai penuh. "Sori, Shan, gue enggak akan ngerokok kalo tau."
Aduh, Shania jadi merasa bersalah. Dia menggeleng cepat. "Enggak, bukan salah Kak Reza, kok." Entah mengapa sekarang Shania salah tingkah ditatap Reza. "Kakak bisa lanjutin ceritanya kalo mau. Gue enggak bakal interupsi lagi."
Reza mengangkat bahu. "Gue bukan tipikal terbuka sama orang baru. Entah kesambet apa gue cerita ini ke lo." Beberapa menit diam, sampai kemudian dia kembali berkata, "Oh, mungkin karena lo anak kucing, Shan."
Shania mencubit lengan Reza tipis, sampai menyisakan nyeri. "Enak aja!"
Reza seketika mengusap bekas cubitan Shania. Agak biru. "Woi, anak kucing itu pintar mencakar, bukan mencubit, Edan!"
Melihat raut kesal Shania, Reza tertawa lagi. "Tadi sampai mana? Oh, Thesa ngerokok, ya?"
"Huum."
"Setelah beberapa saat, asma Thesa kambuh. Dia emang enggak kuat sama asap rokok. Redaf langsung telepon bokap Thesa, sementara dia sendiri cari inhaler yang biasa dibawa di tas.
"Gue inget jelas apa yang Redaf bilang di telepon. 'Om, Thesa diajak ngerokok sama ... Reza.' Gitu katanya. Hahaha, lawak lo, Badut. Gue enggak tau apa-apa ikut dibawa. Anjing banget, 'kan?"
Shania menahan napas. Bukan karena asap rokok, tetapi sesak dalam hati. Tidak bisa dibayangkan betapa tersakitinya Reza saat itu. Diam-diam, air mata lolos dari pelupuk mata Shania. Gadis itu terisak, membuat Reza kelabakan.
"Cing, lo kenapa? Gara-gara asap rokok tadi? Aduh, jangan nangis. Cup, cup, anak baik," ujarnya panik. Dia salah tingkah, entah harus melakukan apa.
"Kakak ... enggak pantes digituin."
Setelah mendengar itu, Reza menghela napas lega. "Di dunia ini, enggak semua hal datang untuk orang yang pantes."
***
AN:
Alohalo! Apa kabar?
Niatnya up kemarin, tapi ada halangan. Ini belum selesai. Masih ada scene Reza-Shania lain. Manis pokoknya <3
Mau nampol seseorang? Jangan aku tapi ಠ_ʖಠ
O iyaaa, mau tanya dong. Ehehe. Misal aku publish cerita genre Sci-Fi berlatar Prancis, kalian bakal baca? 🥺
Ini nanya aja si. Btw sori up malem-malem ><
TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

KAMU SEDANG MEMBACA
WAIVE
Teen FictionOn going. *** Shania Tsabita adalah gadis imut berlesung pipi yang sering dibilang nolep oleh sahabatnya. Hobi membaca novel dan membuat kudapan manis. Karena sering larut dalam kisah fiksi yang kerap dia baca, Shania berharap kehidupannya akan ber...