Empat Puluh Lima

64 10 18
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Tidak sulit menemukan Redaf karena kenalan Niko cukup banyak. Dia tinggal bertanya di grup, kemudian teman-temannya akan memberi tahu di mana mereka lihat. The power of solidarity.

Mobil merah Redaf masih teronggok di tempat semula. Dia belum beranjak sama sekali. Masih merutuki kebodohan di jalan sepi.

Kendaraan roda empat Dino diparkirkan tepat di hadapan Redaf, antisipasi kalau-kalau mau kabur. "Papa ikut turun?" tanya Niko.

Dino menggeleng. "Mau lihat cara Abang selesaikan masalah. Kalau kelewatan nanti Papa turun." Tatkala Niko mengulurkan tangan ingin menyalami, Dino menepis dan tertawa kecil. "Jangan kayak mau tawuran pakai salam segala. Sana cepat, Papa lapar."

Tawa Niko pecah, kemudian dia keluar dari mobil. Wajahnya berubah serius. Lelaki itu masuk ke mobil merah, duduk di jok depan samping Redaf.

"Halo."

Redaf yang masih terkejut mengangguk kaku. "H-halo, Bang."

Niko menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. Memejamkan mata. "Waktu kecil, Shania itu anak yang bisa dibilang kurang sehat. Dia sakit-sakitan. Enggak punya teman banyak. Minimal sebulan dua kali, pasti dirawat di rumah sakit. Sistem imunnya kurang bagus. Dulu, ketika umurnya sembilan tahun, udah dua minggu di rumah sakit. Lo tau apa yang dia lakuin?"

"Apa, Bang?"

Kelopak mata Niko terbuka. Dia tatap Redaf dengan datar. "Tengah malem dia nangis pelan supaya gue yang pura-pura tidur di sebelahnya enggak tau. Dia doa sama Tuhan minta diangkat penyakitnya. Shania enggak mau jadi beban keluarga kata dia.

"Sejak itu, gue, papa, dan mama enggak suka liat Shania sakit. Dalam konteks apa pun. Dia cenderung nutupin sedihnya sendirian. Bahkan, gue akui Shania lebih terbuka sama Nala. Kami enggak pernah sekalipun bikin Shania sakit, tapi kenapa lo ...."

Redaf menunduk. Lebih baik dipukuli daripada diintimidasi seperti ini. Dia hampir lupa caranya bernapas karena sibuk menahan sejak tadi.

Niko menetralkan perasaan supaya tidak terlalu emosi. "Gue cuma minta lo jangan bikin Shania sakit. Apa terlalu sulit?"

"Sori, Bang, gue--"

"Gue enggak butuh maaf lo. Jawab." Ucapan Niko pelan, tetapi tegas. Redaf dibuatnya merinding.

Lelaki yang masih memakai seragam sekolah itu menghela napas. "Ini murni salah gue, Bang. Permintaan itu bakal mudah untuk orang yang tepat dan itu bukan gue."

Niko mendecih singkat. "Sejak awal lo cuma main-main?"

Kepala Redaf tergeleng. "Enggak, Bang. Shania emang menarik. Gue bilang gitu ke dia karena--"

Tatapan tajam Niko membuat Redaf seketika diam. "Lo bilang kayak gitu ke Shania?"

"G-gue kira Bang Niko udah tau," jawabnya terbata.

Tangan Niko mengambil sehelai tisu yang ada di dasbor, meremasnya kuat. "Tadi dia pulang langsung ke kamar. Mata dia bengkak. Pantes aja, orang abis ketemu cowok macem lo. Jujur, Daf, gue kecewa berat."

Merasa terpojok dan disalahkan sepihak, Redaf akhirnya mulai membela diri. "Apa hak Bang Niko kecewa sama gue? Yang deket sama gue, 'kan, Shania, bukan--"

Belum sempat Niko meraih kerah seragam Redaf, Dino tiba-tiba sudah membuka pintu, menyeret lelaki itu keluar mobil. Melayangkan tinju ke pipi kiri Redaf. Hanya sekali, tetapi telak.

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang