Tiga Puluh Satu

81 18 42
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

"Why can't you kiss me in the street?"

***

Tidak apa-apa. Tamu tidak boleh lancang. Cukup duduk menerima jamuan yang tersuguh. Pemandangan Redaf dan Thesa cukup kuat untuk dijadikan alasannya mundur, memberi ruang pada laki-laki itu mendampingi Thesa.

Shania berjalan ke arah Regina. "Liat mereka cocok, ya." Entah dorongan dari mana dia berani berkata seperti itu. Yang jelas, Regina terkekeh sebagai respons.

"Mau mainan masak-masakan sama Egin, Kak?"

Rasanya, tawaran Regina lebih menyenangkan dibanding Thesa. Paling tidak, gadis kecil itu tulus mengajaknya dengan senyuman lucu. Segera Shania mengangguk, menyetujui usul Regina.

"Ayo!" Menjadi sebuah kebiasaan bagi Regina menarik tangan Shania yang berjalan lambat. Dia berkata, "Kak, Gina sama Kak Shania mau main masak-masakan di kamar. Dadah!"

"Maaf, Kak, diajak Egin main," ujar Shania sopan.

Redaf mengangguk. "Sori, Egin jadi ngerepotin."

"Enggak, ko—"

Melihat adiknya langsung menyeret Shania, Redaf menegur, "Pelan-pelan, Egin!" Sempat dia lirik Shania yang terlihat antusias, sebelum Thesa kembali menyadarkannya untuk memasak hidangan lain.

Nuansa pink segera menyambut Shania. Meski sudah pernah masuk ke kamar ini, tetap saja dia mendecak kagum. Apalagi sekarang keadaannya lebih rapi tanpa mainan berserakan. Lupakah Shania untuk mendeskripsikan kamar Regina secara rinci? Baiklah kalau kalian menuntut.

Kamar itu cukup lega dengan ukuran kira-kira empat kali lima meter. Satu lampu tidur berkaki panjang dengan motif Hello Kitty terdapat di samping nakas. Dua lemari terjejer, satu berisi pakaian yang tempo hari dia buka. Almari lainnya berisi boneka dan berbagai mainan tanpa pintu.

Meja belajar diisi banyak buku, sebuah kalender, dan banyak pernak-pernik aksesori lucu. Ada banyak gambar dari krayon tertempel sepanjang dinding, bersebelahan dengan foto Regina tatkala kecil.

Sebenarnya tidak terlalu jauh bentuk kamar itu, mirip seperti milik Redaf, ada AC sama pula. Mungkin interior dan warna kesukaan masing-masing yang membuat dua ruangan tersebut berbeda.

Dengan senyum mengembang, Regina buka loker yang terdapat di bawah kasur. Shania membantu bocah itu mengeluarkan kepentingan permainan. Mulai dari banyak buah-buahan plastik, sayur, alat dapur, tempat makan, dan lain-lain.

Duduk lesehan di karpet tebal sambil berpura-pura menjadi koki ternyata menyenangkan. Ketika tangan Shania sibuk membolak-balik ikan di panci, Regina menyeletuk, "Kak Shania asyik, mau diajak main masak-masak. Kalau Kak Thesa kadang enggak mau."

"Ayo, kapan-kapan kita main lagi!" ajak Shania.

Tentu saja kepala Regina terangguk antusias. "Nah, sayurnya udah jadi! Kak, ayo keluar, Kak Redaf sama Kak Thesa suruh cicip!"

Ketika Shania hendak membawa nampan berisi empat piring makanan plastik, Regina menggeleng. "Egin yang bawa, Kak Shania tolong buka pintu aja."

Baiklah, dia mengalah. Dibukanya pintu, lalu dia keluar. Shania melirik ke dapur dan ... lagi-lagi hatinya mengumpat. Apakah pantas Redaf memeluk Thesa dari belakang, sedangkan di rumah sedang ada Regina? Bagaimana kalau anak itu lihat?

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang