Tiga Puluh Sembilan

55 14 2
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

"Lo tau kenapa Redaf ngefitnah gue kayak gitu?"

Shania menggeleng. "Kakak udah baik, kenapa digituin?"

Reza membuka loker yang terdapat di bawah meja. Mata Shania berbinar. Banyak sekali permen karet di sana. Lelaki itu mengambil sebungkus, menyerahkan ke Shania. "Gue selalu punya permen karet buat ganti rokok."

Tangan Shania terulur, mulai memakan ketika bungkus dibuka. "Enak!"

Reza turut mengunyah panganan manis itu. "Gue sejak awal enggak setuju ada couple di antara kami bertiga. Jelas aja gue menentang hubungan Redaf sama Thesa, meski sebenernya itu urusan mereka. Gue cuma enggak mau persahabatan kami jadi aneh kalo mereka putus nantinya. Bukan doain, tapi antisipasi.

"Terang-terangan gue nunjukin rasa enggak suka, sampe akhirnya Redaf marah. Dia ngomong semua yang dia rasa. Tentang gue yang katanya beban circle. Bahkan, Redaf nuduh gue suka sama Thesa. Kayak bocah. Mana mungkin gue suka sama Thesa, sedangkan dia itu saudara jauh. Redaf dendam sama gue dan akhirnya fitnah kayak gitu."

Shania memelankan kunyahan. Dia tidak menyangka Redaf yang dikenalnya begitu lain dengan versi Reza. "Kak Redaf--"

Reza mengangkat tangan. "Gue tau lo enggak bakal percaya. Redaf emang tampang sempurna untuk protagonis. Dia putar balik keadaan. Ngomong gue ngerokok di sekolah sampe dilaporin ke OSIS. Satu SMA taunya Reza itu yang bikin hubungan Thesa dan Redaf hancur. Padahal, Thesa sendiri yang putus karena bosen."

"Penghancur hubungan orang lain, ngerokok di sekolah, ngajak Kak Thesa ngerokok. Apa lagi, Kak? Gue masih butuh banyak alasan buat berhenti percaya ke Kakak."

Tatapan keduanya bertemu. Seperti gerhana ketika bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus. Dada Reza menghangat melihat senyum tulus Shania. Tidak pernah ada seseorang yang memercayai ceritanya. Sama sekali.

Namun, si Anak Kucing dengan mudah menerima semuanya? Reza merasa untuk pertama pertama kali, dia ... dihargai. Sebagai Reza Giovan. Bukan melakoni peran sahabat Thesa yang cerdas ataupun Redaf si baik hati.

Dahulu, Reza bersyukur memiliki sahabat-sahabat keren seperti mereka, sebelum akhirnya sadar. Dia lebih keren daripada Redaf yang suka pura-pura. Dua kali lipat lebih keren dari Thesa yang suka memanfaatkan orang lain.

"Gue enggak tega ngerusak citra mereka di hadapan lo lebih jauh. Maaf gue cuma bisa cerita sampe sini. Makasih udah mau percaya, Cing."

Shania mengangguk-angguk. "Enggak papa. Makasih juga udah mau cerita ke gue," ucapnya, "o, iya. VALACY itu bener singkatan nama kalian, 'kan?"

Senyum culas terbit dari bibir Reza. Dia mengambil kunci motornya yang terdapat gantungan kain. "Ini?" Ketika Shania mengangguk, Reza kembali membuka loker, mengambil gunting.

Mulut Shania terbuka sempurna tatkala Reza memotong gantungan kunci bertuliskan "VALACY" itu jadi bagian-bagian kecil. "Enggak peduli diambil dari bahasa mana dan singkatan nama siapa. Udah jadi sampah. Gue enggak mau berhubungan sama mereka lagi."

"E-eh? Kakak enggak mau sahabatan sama mereka kayak dulu lagi? Main bareng, kumpul, terus--"

"Terus dimanfaatin lagi?" potong Reza. Dia terkekeh pelan. "Biarin aja gue dianggap antagonis asalkan bisa hidup bebas."

Shania justru tersenyum. Kawah yang mengawal bibirnya muncul. "Itu baru keren!"

Reza melempar gunting. "Sebenernya alay banget, ya? Cuma masalah sepele jadi kayak gitu. Mungkin gue aja yang baperan."

Menggeleng cepat, Shania menukas, "Manusia punya perasaan, enggak salah kalo baper. Tiap orang punya masing-masing cara buat menyikapi masalah. Menurut gue, tindakan Kak Reza bener, kok."

"No, no, no. Shan, berhenti ngomong coba."

Terkejut bukan main, gadis berkacamata itu kelabakan. "G-gue salah ngomong, ya?"

Lelaki tersebut mencebik kesal. Meraup wajah. Mulutnya masih mengunyah permen karet. "Nanti gue suka ke lo, Kucing Tolol."

Kali ini, Shania tidak lagi kaget. Dia hanya menelengkan kepala. "Ya udah, suka sama gue. Emang ada larangan?"

Reza yang malah menatap horor pada Shania. Sebegitu entengnya menanggapi. Padahal, menurut Reza yang payah dalam romansa, perihal perasaan itu bukan perkara mudah. Dia memang beberapa kali menjalin hubungan dengan perempuan. Dalam beberapa kali itu pula gagal. Reza menghela napas panjang.

"Kucing Tolol, denger." Reza berhenti bicara. Mendadak kehilangan kata-kata. Bagaimana menjelaskan pada Shania yang agak bego itu? "Jangan ngomong kayak gitu, oke? Gue enggak mau dicap perebut gebetannya Redaf. No more drama."

Kunyahan Shania makin pelan. Permen karetnya sudah berwarna putih. Dia meniup sejenak dan makanan di mulutnya langsung menggembung. "Ini enggak ada hubungannya sama Kak Redaf, 'kan?"

Usai gelembung meletus, Shania menghentikan seluruh gerakan. Dia baru sadar, sore ini dirinya terasa lain. Yang duduk di sebelah Reza bukan Shania yang biasa.

Ke mana Shania si pendiam, nolep, pemalu? Dia menunduk. Merasa kelewatan batasnya sendiri. Gadis itu menepuk-nepuk jidatnya sendiri. Merutuk.

Tangan Reza mengacak rambut pelan. "Shan, gue mau jujur."

Shania mendongak. Tatapan kembali tertaut. Saling memenjarakan dalam netra masing-masing. Masa enggan mengganggu, begitu pula interupsi.

"Apa, Kak?"

"Gue ... belum siap dapet tatapan menghakimi dari orang lain lagi."

Hening menyerobot. Shania yang lebih dahulu memutus kontak mata itu. Dia menatap permen karet di tangan. "Kita punya hak, mereka juga. Orang-orang bisa aja menyikapi dengan tatapan begitu, tapi kita bisa milih pula buat enggak peduli, 'kan?"

Reza diam, membiarkan Shania menyelesaikan apa yang dia mulai. Jarang-jarang seorang Shania bicara masuk akal. Reza penasaran sampai mana gadis itu mengejutkannya.

"Gue udah lama mau ngomong gini, tapi enggak pernah berani." Shania menarik napas pelan. "Menurut gue, sesama manusia enggak berhak saling menghakimi. Meski perbuatannya enggak bener, emang tau latar belakang dan perasaan orang itu gimana? Paling bener emang Tuhan adalah hakim yang seadil-adilnya."

Melihat Reza yang diam saja, Shania gelagapan lagi. "E-eh, bukan maksud gue hakim dan jajaran penegak hukum itu enggak adil, ta--"

"I got the point. Setuju, tapi pembahasan kita udah melebar. Jadi, gue boleh suka lo?"

Sekarang Shania menutup wajah dengan tasnya. "Bisa lupain kata-kata gue, Kak? Tadi itu, aaa, tadi itu salah. Maksud gue bukan gitu. Hueee, malu!"

Tawa Reza pecah. Puas sekali. Dia menepuk dua kali kepala Shania. "Itu baru Anak Kucing gue! Tadi berani banget, gue sampe tercengang."

Masih dengan wajah disembunyikan, Shania menyatukan kedua tangan. "Lupain yang tadi, lupaiiin!"

"Ya udah, suka sama gue. Emang ada larangan?" goda Reza mengulang kalimat sama seperti yang Shania katakan.

"AAA, KAK REZA DIEM! NANTI GUE CUBIT LAGI, LOH!"

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Auwew, gimana? Konten Reza-Shania demi pembaca tercinta :*

Atau kalian lebih suka Redaf-Shania?

Oh! Atau ... Redaf-Thesa aja? Tenang, tenang, nanti bakal ada kok. Ehehe.

Woh, beneran ending di part 40-an si. Siap-siap aja bro. Oke? Sip. See ya next time.

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang