Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.***
"Shan, apa kabar?" Masih terpengaruh suasana tadi, Shania mengangguk singkat. Redaf menggerakkan jemari di kemudi. "Gue mau minta maaf."
Sekarang, Shania menyesal lagi. Seharusnya dia tidak mengiakan ajakan Redaf begitu saja. Dia sedang tidak ingin berada di situasi canggung lainnya.
Karena tidak tahu menjawab apa, dia tetap diam. Redaf melirik, lalu kembali fokus ke jalanan. Sengaja memperlambat laju mobil agar lebih lama sampai ke tujuan.
Tidak bisa begini. Redaf harus melakukan sesuatu agar kesempatan tidak terbuang sia-sia. "Gue ngebosenin, ya, Shan?"
Wah, sial. Shania benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Takutnya Redaf bertanya untuk mendapat jawaban. Namun, melihat kakak kelasnya masih diam, dia memilih jawaban yang tepat.
"Buat gue enggak."
Sengaja gadis itu menjawab demikian. Cari aman. Namun, Redaf terlihat tidak puas. "Menurut orang lain?"
Shania menjawab, "Gue, 'kan, Shania. Mana gue tau isi kepala orang lain, Kak."
Merasa disadarkan, Redaf sedikit tersentak. Dia menelan saliva susah payah. "Iya, lo Shania. Maaf dulu gue sering bandingin lo sama Thesa. Meski enggak sengaja, tapi gue sadar itu salah. Kalian dua orang yang beda."
Mobil merah tersebut benar-benar sepi, walaupun banyak kendaraan di sekitar mereka. Shania tidak merespons. Dia meremas tali tas sekolahnya.
"Kalo disebut semua bakal kedengaran basa-basi. Intinya, gue mau minta maaf, Shan. Buat semua yang bikin ... lo ... sakit hati, mungkin?"
Gadis berkacamata itu menatap jendela. Tidak ingin melihat Redaf saat ini. Tak mau pula mata memerahnya ketahuan. Cukup dia dan dirinya yang tahu. Berusaha tidak terlihat menyedihkan, Shania berdeham dan bersuara kembali. "Gue enggak pernah sakit hati karena Kakak. Jadi, santai aja."
Tawa hambarnya tentu menjadi sinyal merah di radar Redaf. Lelaki itu mengacak rambut dengan tangan kirinya. "Shan." Karena dipanggil, mau tak mau Shania menoleh. "Sungguh, mata lebih bisa dipercaya daripada lidah. Maaf, Shan, maaf. Gue bener-bener enggak sadar udah nyakitin lo."
Cukup. Shania ingin menyudahi kecanggungan ini. "Enggak apa-apa, Kak. Kita itu, 'kan, cuma kakak dan adik kelas yang kebetulan akrab. Lagi pula, mana ada manusia yang enggak nyakitin orang lain?"
Tidak bisa Shania begitu santai ketika Redaf sendiri merasa campur aduk. Dia menghentikan mobil di pinggir jalan. Menatap Shania tepat di bola mata.
Serangan mulas tiba-tiba datang lagi. Shania merasa perutnya melilit, tetapi bukan sembelit. Dia tahu ini karena Redaf menatapnya begitu intens.
"Apa yang bisa gue lakuin buat menebus itu semua?" tanya Redaf.
Ini aneh. Begitu aneh. Sangat aneh. Terlalu aneh. Shania ingin menjadi bukan dirinya hari ini. Yang sebelumnya pendiam dan minim aksi, dia harus berbeda sekarang.
"Perasaan Kakak ke gue gimana?" cicitnya.
Kembali Shania menoleh ke jendela setelah bertanya. Malu, tetapi dia ingin tahu jawabannya. Makin lama Redaf diam, makin sulit pula dia tahan gejolak dalam dada.
Bulir-bulir itu hampir jatuh. Untung gravitasi bumi hanya 9,8m/s. Kalau 10m/s, bisa jadi ia sudah membawa bulir itu jatuh seperti air terjun dari kelopak mata. Tidak boleh menangis, jangan. Shania terus memberi sugesti itu pada dirinya.
Sedangkan Redaf betul-betul mematung. Tidak bergerak sama sekali. Dia juga sedang mencari jawaban yang sama pada hatinya senfiri. Meski jujur, janggal sekali seorang Shania berani bertanya seperti itu. Dia tidak pernah menyangka.
Ketika lidahnya sudah hendak bergerak, bayangan Thesa muncul di kepala. Menahan keputusan yang sudah dibuat. Memanipulasi. Padahal hanya bayangan wajah, mengapa bisa begitu? Redaf mengacak rambut lagi. Mencengkeram setir kencang.
"S-Shan, gue ...." Penuh keraguan dan serak. Sarat ketidakberdayaan. Mendengarnya, satu bulir lolos dari kelopak Shania.
"Jujur aja, Kak." Redaf kalah serak dari Shania. Lelaki itu menoleh, mengamati gerak-gerik adik kelasnya yang tampak mengusap mata sangat pelan. Dadanya teremas begitu saja. Nyeri sekali.
Namun, dialah penyebab semua itu. Baik, tidak bisa diundur lagi. Redaf harus mengutarakannya hari ini. Tidak ada kata besok atau lusa.
"Gue suka sama lo, Shan." Redaf menarik napas panjang. "Di samping itu, gue juga masih ... cinta ... sama Thesa."
Haruskah dia bahagia karena Redaf juga menyukainya? Atau sedih karena kalimat selanjutnya itu? Yang jelas, dia membekap mulut, mencegah suara keluar.
Redaf memejamkan mata kuat-kuat. Tidak ingin melihat Shania. "Gue emang berengsek, bajingan, bangsat, atau apa pun itu. Maaf, Shan. Sumpah bukan maksud gue nyakitin lo lagi. Gue harus gimana? Bukan gue yang milih suka sama lo ataupun cinta ke Thesa."
"Walaupun gitu, Tuhan kasih kita kesempatan buat mengontrol perasaan. Itu yang enggak bisa gue lakukan, Kak. Gue sengaja tetep suka ke Kakak meski berisiko."
Redaf masih belum berani membuka mata. Dia menaruh kepala pada kemudi. Tidak tahu harus bagaimana. Persetan dengan nama Thesa yang terus bermunculan di benaknya.
"Shan, lo marah ke gue?"
Tidak tahu. Iya mungkin. Shania berpikir seperti itu, tetapi lidahnya tetap di tempat. Cukup lama sampai dia putuskan memecah hening.
"Marah karena apa? Kakak lebih cinta sama Kak Thesa?" Pertanyaan yang lebih mirip belati. Shania menancapkan sendiri benda itu ke dada kirinya.
Redaf benar-benar dibuat bungkam seribu bahasa. Dia tidak punya kamus kata-kata lagi. Yang dilakukan hanya mencengkeram kemudi sampai buku jari memutih.
"Lo marah ke gue?"
Shania membuang wajah ketika Redaf justru kembali menanyakan hal yang sama. "Menurut Kakak?"
"Jawab, Shan!" teriak Redaf tanpa sadar. Dia angkat kepala perlahan, mendapati Shania sedang mengusap matanya. "S-sori, Shan, g-gue cuma mau lo jawab pertanyaan tadi."
Tidak ingin terlihat makin menyedihkan, Shania lirik Redaf. "Ya." Jawaban singkat, padat, jelas.
Tangan Redaf bergerak, menggenggam jemari Shania. "Gue minta maaf, Shan. Meski maaf emang enggak bisa sembuhin luka. Tolong bilang, gue harus apa biar dapat maaf dari lo?"
Kepala Shania menoleh, sepenuhnya menghadap lelaki yang berpenampilan berantakan. "Enggak apa-apa, Kak. Jangan merasa terbebani. Gue cuma butuh waktu, mungkin?" Shania menggeleng pelan. "Gue bahkan enggak tau harus ngapain. Ini kali pertama gue suka sama laki-laki dan ...."
Telapak tangan kiri Shania yang bebas dari genggaman Redaf bergerak menutup wajah. Jangan sampai tangisannya dilihat orang lain. Suara Shania sudah serak, tidak mungkin melanjutkan ucapannya.
Memang tidak ada isakan, tetapi bahu bergetarnya sudah menjawab segala tanya di benak Redaf. Lelaki itu makin berat hati. Dia tidak tega membiarkan adik kelasnya menangis begitu saja.
"Shan ...." Sembari memanggil pelan, Redaf menurunkan tangan Shania. Tampak sudah wajah memerah dengan lelehan air mata.
Tatapan keduanya saling menaut. Detik berikutnya, Redaf kembali melakukan kesalahan. Sesuatu yang menambah rumit keadaan.
***
AN:
Alohalo! Apa kabar?
Kembali lagi dengan Shania yang ....
Part ini gimana?
Kira-kira udah bisa nebak ending?
TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

KAMU SEDANG MEMBACA
WAIVE
Teen FictionOn going. *** Shania Tsabita adalah gadis imut berlesung pipi yang sering dibilang nolep oleh sahabatnya. Hobi membaca novel dan membuat kudapan manis. Karena sering larut dalam kisah fiksi yang kerap dia baca, Shania berharap kehidupannya akan ber...