Dua Puluh Sembilan

77 15 21
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Drama lain akan dimulai.

***

Tengah malam waktu yang cocok untuk membuat biskuit bagi Shania. Meski lebih tepat untuk membaca novel sambil bergelung selimut, dia tidak ingin melakukan kegiatan itu. Katakan saja bahwa gadis tersebut sedang menyibukkan pikirannya agar tidak ingat tentang kalimat Redaf tadi.

Shania dengan rambut yang dicepol bergerak lincah ke sana-sini. Menakar cokelat bubuk dan tepung, memasukkan gula, mentega, baking soda, dan beberapa bahan lain. Setelah dicampur, dia menyempatkan diri untuk mencicipi adonan tadi. Kepalanya terangguk. Rasa manisnya pas.

Pukul tiga pagi, sudah enam stoples biskuit yang berhasil dibuat. Tiga rasa cokelat, dua vanila, dan satu green tea. Shania menghela napas lega, akhirnya selesai juga.

Walaupun tidak nyaman, dia harus ke rumah Redaf besok. Tanggung jawabnya tidak boleh goyah hanya karena masalah sepele. Pasti tidak terjadi apa pun. Hari ini cukup menyerahkan biskuit, lalu pulang.

Sebelum itu, Shania harus lekas tidur. Dia mencuci muka, menatap pantulan wajah pada cermin di hadapannya. Sekali lagi, kenapa dia begitu mirip dengan Thesa?!

Dengan cepat Shania gosok wajahnya sampai perih, berharap akan membuatnya sedikit berbeda dengan Thesa. Kemudian, dia ber-istighfar dalam hati.

Tak ingin lebih lanjut menambah dosa karena mengumpat, Shania pejamkan mata, berharap segala yang terjadi hari ini akan menjadi sebuah angan belaka.

***

Bangun pukul lima untuk salat, kepala Shania pening. Dia hanya tidur dua jam, itu pun tidak nyenyak. Usai melaksanakan ibadah, gadis tersebut duduk diam di tepi kasur. Haruskah pergi ke rumah Redaf?

Sudah, enyahkan segala pikiran buruk. Dia mesti ke sana untuk menghasilkan uang tambahan, 'kan? Iya, Shania harus profesional, tidak boleh terbawa perasaan.

Setelah mandi, dia menatap pantulan diri untuk yang kesekian kali dalam dua puluh empat jam. Tubuh berbalut Refashioned Floral Corduroy Dress berwarna hijau gadung dengan kerah putih merumbai terlihat cantik.

Kancing keping terpasang lurus vertikal di bagian depan sepanjang terusan. Ada tekukan pada lengan yang memang sengaja dibuat demikian. Sepatu pantofel dan jepit pita berwarna hijau tua terlihat selaras.

Setelah menyelempangkan tas putih kecil berisi ponsel dan beberapa lembar rupiah, Shania keluar kamar. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati Niko berdiri bersandar pada pegangan tangga. "Butuh sopir?"

Shania tersenyum semringah. "Kok tau gue mau pergi?"

"Dini hari bikin biskuit, dandan rapi kayak gini, jelas lo mau pergi. Jadi, ke rumah Redaf, 'kan?"

Gadis dengan ikatan kepang itu mengangguk. "Mama sama papa di mana?"

Niko mengangkat bahu. "Katanya ke rumah Tante Raya, adik papa yang jomlo itu. Abis anter lo nanti gue mau main. Lo di sana dulu aja sampe jam tiga."

Bibir Shania melengkung ke bawah. Sekarang masih pukul sembilan pagi, tidak mungkin mendekam di rumah Redaf, 'kan? "Gue pulang sendiri atau minta jemput Nala. Titik. Udah, yuk, anterin Shania, Bang!"

Masuk dalam mobil, Niko membiarkan Shania menyalakan lagu "Black Magic" milik Little Mix. Menyetirkan mobil menuju kediaman Redaf, Niko menyeletuk, "Gue tau apa yang terjadi tadi malam."

Tubuh Shania mematung. Dia tetap berusaha biasa saja meski raut tegang tampak kentara di wajah. "Kenapa?"

Lelaki itu tahu, bahwa adiknya mengalihkan pembicaraan dengan menyanyikan lagu yang tersetel.

Take a sip of my secret potion
(Minumlah sedikit ramuan rahasiaku)

I'll make you fall in love
(Aku akan membuatmu jatuh cinta)

For a spell that can't be broken
(Untuk mantra yang tak pernah bisa dipecahkan)

One drop should be enough
(Satu tetes seharusnya cukup)

Boy, you belong to me
(Sayang, kamu milikku)

I got the recipe
(Aku punya resep)

And it's called black magic
(Dan ini disebut sihir hitam)

Tawa keras Niko membuat Shania melirik. "Bhahaha, sefrustasi itu sampe lo mau guna-guna Redaf?"

Shania menabok lengan kakaknya yang seenak jidat bicara. "Enak aja! Cuma lagu, kali!" Keranjang rotan di pangkuan gadis tersebut hampir jatuh ketika Niko menginjak rem tiba-tiba.

"Sana, turun!"

Dia membuka pintu mobil dan menyempatkan diri melotot ke arah Niko. "Makasih."

"Iya. Gue mau main, anteng-anteng lo di sini!"

Mobil beranjak dari kediaman Redaf. Shania menghela napas, menguatkan diri sebelum masuk. Dia membenarkan poni yang panjang dan tidak diikutkan dalam kepangan.

Dapat Shania lihat mobil merah milik Redaf terparkir di garasi, yang jelas harapannya agar tidak bertemu lelaki itu sudah pupus. Dia tekan bel, hingga bunyinya bisa terdengar sampai telinga Shania.

"Sebentar!" Itu suara Regina, melengking dan jernih. Benar saja, pintu terbuka dan menampilkan sosok anak kecil berkuncir dua. "Wah, ada Kak Shania, masuk, Kak!"

Seperti biasa, Regina menarik tangan Shania agar masuk. Lagi, kejadian semalam terulang. Sial. Sial. Sial. Di sana, Risma sedang memasak dibantu Redaf dan Thesa yang tengah tertawa.

Shania benar-benar ingin mengumpat. Semuanya salah sejak dia bersikap ramah pada Redaf dahulu. Apakah Shania menyesal?

Ya. Sangat. Terlalu menyesal sampai dia lengkungkan senyum manis untuk balasan tatapan tak percaya manusia di sana. Drama lain akan dimulai. Lebih melankolis dan menyesakkan, mungkin?

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Maaf aja ni, baru sempet pub, hihi. Jadi, gimana? Next part bakal asyique banget😘

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang