Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.***
Kehidupan sekolah Shania biasa saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa. Biasanya, gadis itu duduk di perpustakaan, bersemedi dan tenggelam bersama lautan aksara. Tetapi, siang ini Shania hanya duduk diam di kelasnya.
Otaknya berpikir keras, apa yang salah dengan dirinya? Tangan Shania memegang dada bagian kiri. Perlukah ia pergi ke dokter? Sakit rasanya.
Semenjak Redaf tiba-tiba datang, semuanya terasa begitu aneh bagi Shania. Baru beberapa minggu ia mengenal Redaf, gadis itu merasakan perubahan yang signifikan pada dirinya.
Mulai dari perut yang mulas ketika melihat senyum Redaf, dada yang membuncah ketika lelaki itu memanggil namanya ....
Shania baru pernah merasakan semua itu. Pengalaman baru yang benar-benar mengagumkan. Namun, ketika Shania melihat nama Thesa, perasaannya seolah berbalik seratus delapan puluh derajat. Padahal ia tahu, Thesa adalah gadis yang baik. Tetapi kenapa ... ah, sudahlah.
Tangan Shania meraih kotak makan yang ada di tas sekolahnya. Setelah dibuka, gadis itu mulai menyantap makan siangnya. Udang merah berselimut tepung tampak nikmat bersanding dengan nasi putih.
Untuk meramaikan suasana yang hening, Shania menyalakan musik bernada santai. Lagu The Lazy Song milik Bruno Mars mejadi pilihannya. Ia kembali melanjutkan makan siangnya dengan khidmat.
Tetiba, sebuah tangan mengambil udang tepungnya. Shania melotot, menatap Reza yang sudah duduk santai di hadapannya. "Izin dulu, Kak!" sungut Shania.
Reza mengangguk. "Minta udangnya, Shan."
Shania hanya bisa menghela napas berat. Udang terakhirnya dimakan Reza. "Hm, telat."
"Shan," panggil Reza.
Gadis itu mematikan musik, memasukkan kotak makan ke dalam tas lagi. "Shan, lo marah?" tanya Reza.
Shania menggeleng, membuat kacamatanya melorot. "Enggak."
"Sori, deh, gue ganti lobster, mau?"
Tawaran Reza membuat Shania menatap antusias. Tentu saja, siapa yang tidak mau membeli lobster dengan sebuah udang tepung? "Wah, lobster?!"
Kepala Reza terangguk. "Karena lo udah mau jadi kurir surat gue dari Thesa, gue kasih satu bonus."
Shania menelengkan kepalanya. "Apa?"
"Gue bakal jawab satu pertanyaan dari lo. Bebas, tentang apa aja," celetuk Reza.
Telunjuk Shania diletakkan di dagu, wajahnya memasang tampang berpikir. Ia bergumam, "Hm, bolehlah."
"Nanti pulang sekolah kita mampir makan."
Belum sempat Shania membalas, Reza sudah lebih dahulu pergi dari kelas. Kini gadis itu hanya ditemani meja serta kursi, papan tulis putih yang sudah agak menghitam, alat kebersihan tergantung di pojok kelas, serta beberapa benda yang menjadi hiasan.
Shania meletakkan kepalanya di atas meja. Ia bingung hendak melakukan apa. Biasanya, jam-jam seperti ini ia gunakan untuk salat zuhur. Namun sayang, dirinya sedang datang bulan sejak dua hari lalu.
Air Conditioner yang ada di belakang mengganti udara panas dengan angin sejuk, membuat gadis tersebut terbuai untuk memejamkan matanya.
***
Setelah meminta Nala untuk pulang terlebih dahulu dan menelepon Reva kalau ia pulang telat, Shania berjalan ke parkiran, menghampiri Reza yang sudah menunggu di atas motornya.
Tanpa mengatakan apa pun, Reza menyodorkan sebuah helm. Shania menerima benda tersebut dan mengucap, "Makasih, Kak."
Ketika Shania hendak memakai helm, matanya melihat sebuah stiker nama di bagian kaca helm. Lagi-lagi asma Thesara yang tertera.
Reza yang menyadari hal itu segera berujar, "Itu helm Thesa ... dulu."
***
Perjalanan berlangsung dengan tentram. Tidak ada acara ngebut atau menjerit seperti tempo hari. Benar-benar tenang sore itu.
Shania menatap interior restoran sea food yang ia akui cukup memanjakan mata. Reza menatap Shania yang sibuk menelisik setiap sudut tempat yang mereka kunjungi. Ada akuarium kecil di tengah meja yang berisi dua ikan hias. Lucu!
Reza memesan menu yang ia janjikan pada Shania. Lelaki tersebut kemudian menatap gadis di hadapannya. "Jadi?"
Shania bertanya, "Jadi apa?"
"Prok, prok, prok." Sahutan lelaki itu membuat Shania tergelak. Ia baru tahu kakak kelasnya itu bisa melawak meski garing. "Lo mau tanya apa?" tuntut Reza.
Tangan kanan Shania diletakkan di jidat, ekspresinya tampak berpikir. Reza mendengus, adik kelasnya banyak tingkah! "Gue belum tau mau tanya apa," kelakar Shania.
"Gue itung sampe sepuluh, lebih dari itu hangus."
Shania gelagapan ketika hitungan Reza mulai berjalan. Otaknya berpikir keras hanya untuk mencari sebuah pertanyaan. Lagi pula untuk apa dia dituntut bertanya? Memangnya Shania se-kepo itu dengan Reza? Idih.
"Delapan," hitung Reza, "sembilan ...."
Mata terpejam Shania seketika membuka. Ide cemerlang muncul di saat genting, kerja bagus. "Tadi pagi sarapan apa?" tanya Shania dengan cepat, tidak sampai sedetik ia bicara.
Mulut Reza menganga, tidak percaya dengan pertanyaan Shania yang jujur saja di luar ekspetasi. "Lo sakit?"
Shania mencibir, "Katanya suruh tanya, udah tanya dibilang sakit. Aneh!"
"Pertanyaan lo yang aneh!" seru Reza tak ingin kalah.
"Ya udah, tinggal jawab apa susahnya?" Shania membalas dengan sewot.
Reza mendecih, kemudian menatap geram Shania yang memasang wajah angkuh. "Gue enggak pernah sarapan, Cil."
"Kenapa?"
"Gue tiap pagi bangun siang, enggak sempet makan," ujar Reza.
Pesanan datang, menginterupsi percakapan keduanya. Shania menatap lobster merah di depannya dengan mupeng—muka pengin. Setelah mencuci tangan di westafel yang tersedia, ia segera menyantap hidangan laut itu, disaksikan oleh Reza yang sedang khidmat mencicipi udang.
Di tengah aktivitasnya makan, tiba-tiba Shania menyeletuk, "Kenapa Kakak, Kak Redaf, dan Kak Thesa bisa enggak akur?"
Ucapan santai Shania seperti tombol pause, membuat gerakan Reza terhenti. Mungkin, inilah pertanyaan yang sudah ia prediksi dan siapkan jawabannya.
***
AN:
Alohalo! Apa kabar?
Masih ingat cerita ini, 'kan? Uhuuuy, y x g!😍
Begimana, nih, part Dua Puluh Tiga? Full Reza-Shania, ya? Hm, kok aku mau pindah kapal ke mereka aja :)
Ehe, jangan lupa ritualnyaaa! Vote, comment, share!❤️
TTD,
Pecinta husbando 2D

KAMU SEDANG MEMBACA
WAIVE
Fiksi RemajaOn going. *** Shania Tsabita adalah gadis imut berlesung pipi yang sering dibilang nolep oleh sahabatnya. Hobi membaca novel dan membuat kudapan manis. Karena sering larut dalam kisah fiksi yang kerap dia baca, Shania berharap kehidupannya akan ber...