Empat Puluh Empat

58 10 18
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Ciuman singkat itu tidak lebih dari dua detik. Namun, akan membekas kuat di ingatan Shania. First kiss-nya sudah diambil. Redaf menunduk setelah mengusap singkat bibir gadis itu.

"Maaf, Shan."

Muak mendengar kata itu, Shania menyahut, "Apa ciuman tadi sebatas kesalahan sampai Kakak harus minta maaf? Kalau emang salah, kenapa dilakuin? Kasih gue harapan baru?"

Shania menengadah, berusaha mencegah air mata kian deras. Dadanya sesak sekali. Kalau memang Shania tahu sesakit ini risiko patah hati, dia tidak akan coba-coba.

Sungguh, Shania sendiri tidak mengerti mengapa masih duduk di mobil itu. Apa telinganya ingin mendengar pembelaan lain dari Redaf? "K-Kak, jawab."

Redaf mengangkat wajah kembali. Meski samar, dapat Shania lihat matanya memerah. "Harus dijawab gimana lagi kalau semua yang lo omongin bener?"

"S-semuanya bener? Jadi, ciuman tadi--"

Dengan sekali tarikan napas, Redaf menjawab, "Ya. Ciuman tadi kesalahan. Termasuk gue yang cuma jadiin lo pelampiasan. Puas?"

Masih belum cukupkah, Tuhan? Ayo sirnakan saja kepingan hatinya. Tidak perlu sungkan. Daripada harus menahan perih seperti ini, lebih baik tidak memiliki hati sekalian.

Tangan kanan Shania meremas seragamnya. Mencoba menyalurkan kecewa dan sakit. Namun, usahanya sa-sia karena dia sudah bergetar menyerah.

Shania menatap Redaf, tersenyum tipis. "Makasih udah mau jujur. Gue pulang dulu, Kak."

Tidak memedulikan Redaf yang memanggil berulang kali, Shania keluar dari mobil dan menutup pintu pelan. Berjalan lunglai di jalanan sepi. Mereka memang belum sampai di rumah Shania. Tadi Redaf menepi untuk bicara.

Redaf tidak mengejar dan Shania pun tidak berharap begitu. Sendiri lebih baik. Tubuhnya lemas karena belum makan. Hingga beberapa menit kemudian, dia memilih berhenti. Duduk di trotoar karena lelah.

Shania mengelap lensa kacamatanya yang mengembun karena air mata. Tidak boleh menangis lagi. Sudah cukup.

Dia memeluk lutut, membiarkan wajahnya terbenam di sana. Menunduk tanpa ada yang tahu dirinya kehilangan kepercayaan. Sebenarnya cukup riskan sendirian di sana, apalagi suasana cukup sepi.

Ini gara-gara Redaf ingin cari makan dan keluar jalur yang seharusnya menuju rumah Shania. Gadis itu tidak menghiraukan apa pun. Nanti saja minta jemputnya. Bisa-bisa ditanyai oleh Niko.

Pukul tujuh kurang lima belas menit, Shania sudah merinding. Sepuluh menit tanpa melihat orang lewat berhasil membuat nyalinya ciut. Dia buka tas, mengambil ponsel.

Sayang, benda tersebut mati. Memang sejak siang sudah lowbatt, tetapi Shania tidak menyangka kalau sampai mati begini. Helaan napas keluar cukup berat.

Perfect. Sendirian di tempat antah-berantah, sakit hati, ponsel mati, kelaparan. Kurang apa lagi?

Kembali Shania menenggelamkan wajahnya lesu. Namun, ketika mendengar suara motor yang familier, dia langsung tersenyum lebar. Tuhan selalu mengirim pahlawan di masa-masa sulit!

Ketika mendongak, senyum tadi sirna. Bukan Reza yang dia lihat, melainkan dua lelaki tak dikenal. Keduanya melepas helm, sedangkan Shania segera berdiri. Alarm bahaya sudah berbunyi.

Matanya menatap waswas pada mereka. Lelaki yang tadi membonceng berjalan ke arahnya. "Shania, 'kan?"

Kening Shania terlipat. Bagaimana bisa tahu namanya? Dia makin mundur, mendekap tas cukup erat. Memilih tidak menjawab karena takut.

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang