Empat Puluh Dua

51 11 8
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Di bangunan yang pernah Shania kunjungi itu, dia duduk di sofa lembut ruang tamu. Bersama tiga kakak kelas yang entah mengapa tiba-tiba menyeret dia dalam urusan mereka. Shania duduk tidak tenang. Berulang kali mencuri pandang pada yang lain. 

"Waktu gue enggak banyak. Besok harus flight ke Inggris."

Suara Thesa menggema di ruang tamu rumahnya. Pukul lima sore, ada empat manusia yang duduk di masing-masing sofa. Aura tegang jelas menyelimuti.

Shania yang merasa dia tamu tak diundang berkali-kali mengusap peluh di pelipis. Tak jarang pula dia menelan saliva. Terjebak di situasi se-awkward ini sama sekali tidak ada di wish list Shania.

Biar dijelaskan lebih rinci. Di paling utara, ada Thesa yang duduk sendiri. Mendominasi. Rambut panjangnya dikuncir tinggi. Menambah kesan pongah di mata Shania, jujur saja.

Di sisi barat ada Redaf yang sedari tadi pura-pura fokus pada sepatunya. Dia terpaksa datang karena Thesa sendiri yang meminta. Tidak perlu ditebak, Redaf sudah tahu, gadis itu hendak membahas apa yang disampaikannya tadi malam.

Sedangkan di hadapan Redaf ada Reza. Duduk santai tanpa memedulikan tatapan mengintimidasi Thesa. Padahal, siapa tahu kalau dadanya sedang berdisko. Menebak apa yang akan terjadi.

Di samping Reza, Shania duduk gelisah. Meremas jemari, perut mulas, membenarkan letak kacamata. Ingin pulang rasanya dan kabur dari sana. Namun, itu jelas tidak dapat dilakukan.

Reuni tiga sahabat yang lebih patut disebut sidang itu berlangsung lambat. Thesa tersenyum. "Bukan ngusir, tapi kenapa Shania bisa di sini, Za?"

Meski tersinggung, Shania sadar diri. Dia menahan segala gumpalan umpatan di hati agar jangan sampai terucap. Dia serahkan pada Reza saja.

Sedangkan, yang ditanya mengangkat alis. "Menurut pesan yang lo kirim ke gue enggak ada aturan dilarang bawa Shania."

"Oke, whatever. Enggak ada urusannya juga sama dia. Jadi, mau kalian gimana? Gue sendiri enggak rela VALACY udahan," kata Thesa.

Shania lihat Redaf melirik singkat pada Thesa sebelum menyandarkan diri pada punggung sofa. "Gue--"

"No." Reza segera memotong ucapan Redaf. "Gue males terjebak di perbabuan bertopeng persahabatan."

"Za, kita udah bareng-bareng selama belasan tahun."

Kepala Reza mengangguk-angguk. "Terus?"

Thesa menghela napas cukup berat. "Lupain masalah dulu. Kita udah gede sekarang. Enggak ada yang namanya memanfaatkan atau dimaanfaatkan. Gue cuma kangen main bareng kalian."

Hening. Masing-masing tidak bergerak seinci pun meski jarum jam terus bergerak. Shania malah terbawa perasaan atas ucapan Thesa.

"Ayo makan udang tepung kesukaan Reza lagi. Temenin Redaf minum teh di balkon kamarnya. Gue enggak pernah lupa kesukaan kalian. Kenangan masa kecil kita, semua. Enggak pernah gue mau musuhan sama kalian."

Mata Shania berkaca-kaca. Untuk pertama kali dia bisa merasakan ketulusan di suara Thesa. Reza pun kini diam. Shania tebak, tiga kakak kelasnya itu sedang bernostalgia di kepala masing-masing.

"Za, sori kalo selama ini lo ngerasa jadi babu kita. Makasih banyak udah berperan jadi kakak yang baik. Rela ngelindungin kita padahal lo enggak ikut-ikutan. Gue, Redaf, kita sayang sama lo. Udah marahannya, Za, gue enggak suka kayak gini," lirih Thesa.

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang