Tiga Puluh

63 18 13
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Thesa sedang ... menyombongkan diri in another way?

***

Redaf merasa dirinya adalah manusia paling terkejut di dunia. Semalam, dia hanya basa-basi agar tidak hening. Tidak tahunya, Shania ... benar-benar datang. Dengan senyum yang seolah tak terjadi apa pun.

Jika boleh jujur, dia justru mengharapkan Shania marah padanya, mengambek seperti yang Thesa sering lakukan. Redaf tidak mengerti bagaimana cara menghadapi gadis yang pura-pura tersenyum. Eh? Memang Shania hanya sandiwara? Bagus, dirinya makin sok tahu.

Risma yang pertama kali bersuara dengan ramah. "Wah, ada Shania, sini gabung!"

Dengan yakin tanpa menunduk satu senti pun, Shania berjalan mendekat, berusaha mengabaikan dua orang yang memakai kaus bertuliskan "VALACY".

Persetan dengan kata-kata aneh itu. Shania tersenyum lebar. "Pagi, Tante, maaf ke sini tanpa mengabari."

"Enggak apa-apa, dong. Mau anter biskuit?"

Gadis berkepang tersebut mengangguk. "Iya, Tante, baru sempat buat."

Risma meletakkan pisau dapur yang semula digenggam. "Kebetulan Tante mau ke toko, sekalian aja. Nah, kamu mau bantu Thesa dan Redaf masak makan siang, Shan? Kalau kamu enggak keberatan, sih."

Kebetulan yang sungguh tidak menyenangkan. Tidak mungkin Shania menolak wanita sebaik Risma, 'kan? Dengan begitu, bibir tipisnya melengkung. "Tentu."

Kembali Redaf terperangah dengan sikap tenang Shania. Diam-diam dia lirik gadis berkaus biru di sebelahnya, Thesa sedang melambaikan tangan.

"Gina mau ikut Bunda?" tanya Risma pada putri bungsunya.

Yang ditanya menggeleng. "Mau di sini aja."

"Daf, titip Egin, jangan dinakalin. Sini, Shan, biskuitnya." Keranjang rotan berpindah tangan kepada Risma. Wanita itu melepas celemek dan meraih kunci mobil. "Tinggal sebentar, ya, assalamualaikum!"

Tersisa empat manusia yang bukannya melanjutkan kegiatan justru sibuk saling pandang. "Permisi, Kakak-kakak, maaf mengganggu."

Menanggapi ucapan Shania barusan, Thesa tersenyum lebar. "Enggak, kok. Ayo, Shan, masak bareng." Melihat bahan-bahan yang tersedia, Shania meneguk saliva. Dia tidak bisa memasak makanan berat. "Bisa masak udang?"

Dia memang suka udang, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Shania menggeleng sebagai jawaban. "Enggak, Kak."

"Sini gue ajarin," tawar Thesa.

Shania mendekat sembari menampilkan wajah semringah. Dia tidak ingin pikiran buruk menyerang otak. Tidak ada salahnya belajar memasak, 'kan?

Redaf mundur sedikit, memberi ruang untuk Shania berdiri di samping Thesa. Dia memilih duduk bersama Regina di kursi berkaki panjang dekat dapur. Mengamati lamat-lamat satu per satu tamunya.

Thesa memakai kaus yang sama seperti dirinya, bahan katun dan terdapat tulisan "VALACY" dengan celana panjang kain berwarna biru senada. Sedangkan Shania memakai terusan selutut hijau.

Rambut Thesa tergerai cantik, tanpa pemiliknya kesulitan meski sedang memasak sekalipun. Untuk Shania, Redaf tidak tahu gaya apa yang dipakai. Intinya, rambut gadis itu berkepang satu ke kiri.

"Kakak liatin apa?"

Pertanyaan Regina membuat Redaf terkesiap. Dia menoleh, menatap adiknya yang imut. "Enggak ada."

Dua gadis itu berpindah ke westafel, Thesa membawa satu wadah besar berisi udang segar. Dia berkata, "Hasil masakan nanti enggak perlu estetik, 'kan? Jadi, kita buang aja kepala udangnya."

Shania menyesal tidak memperhatikan Reva ketika memasak udang, alhasil dia seperti anak TK yang sedang belajar membaca. Dengan pisau tajam dan talenan kayu, Thesa pisahkan bagian kepala beserta kulitnya dari tubuh udang. "Nah, biar enggak amis, belah punggung udang, terus ambil semacam tali warna hitam ini. Udah, deh, tinggal cuci. Sebenarnya bisa juga pakai daun jeruk, tapi rasanya bakal beda, Redaf enggak suka."

Tenang, tenang. Shania tetap tersenyum, berterima kasih atas ilmu tentang dunia perudangan tersebut. Kalau dipikir, Thesa baik sebenarnya.

"Gue belum pernah masak udang asam manis, sih, tapi pengin aja, enak kayaknya. Jadi, ayo kita coba, Shan!"

Seruan itu membuat Shania tertegun. Sebagian dirinya merasa bersalah sudah suuzan dan berpikiran buruk perkara Thesa. Dia tidak ingin hatinya makin keruh. Segera Shania mengangguk sebagai respons.

"Red, jadi asisten kita!" perintah Thesa.

Redaf berdiri dan terkekeh pelan. "Siap, Nona-nona."

"Egin jadi apa, Kak?" tanya Regina tak ingin berdiam diri.

Thesa mengerutkan kening sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu. "Juri!"

Rambut Regina bergerak seiring dengan anggukan kepala. "Siap, Kak!"

Gadis bersurai gerai itu mulai mengabsen apa saja yang harus Redaf sediakan. Mulai dari jeruk nipis, berbagai macam bawang beserta daunnya, beberapa saus, gula, garam, merica, serta cabai. Regina tertawa lepas ketika Redaf kewalahan membawa bumbu dapur.

Udang tadi dilumuri oleh perasan satu buah jeruk nipis, kemudian didiamkan selama beberapa menit. Tangan Thesa lihai mengiris tipis aneka bawang dan cabai sekaligus. Lalu, dia bilas rendaman udang tadi dengan air mengalir.

Thesa mulai memanaskan sedikit minyak zaitun ke panci teflon. Setelah dirasa panas, dia memasukkan bawang putih dan bombai. Tak lupa elemen lain ditambahkan kecuali saus dan udang. Mengaduk sebentar, kemudian menuang sedikit air matang. Kalau air sudah mulai habis, udang dimasukkan dan aduk sampai warnanya berubah. Kini giliran para saus meluncur ke wajan, jangan lupa imbuhkan sedikit air lagi.

Menyenangkan sekali, memasak bersama Thesa, bukan? Cukup diam dan memperhatikan, maka sudah bisa disebut "memasak bersama". Entah karena dia sedang unjuk kelihaian memasak atau apa, tetapi hal itu membuat Shania seolah tak berguna.

Sejak tadi justru Redaf yang diajak memasak. Dia tersenyum tipis. Benar-benar tamu tak diundang. Shania memang berada di samping Thesa, tetapi gadis itu seolah membutakan mata. Benar kata peribahasa, semut di seberang samudra tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.

Ibarat Shania adalah batu dan Thesa merupakan setitik hujan. Memang kelihatannya kecil dan tidak berarti, tetapi kalau terus-menerus ... harga diri Shania terkikis. Hancur. Lebur.

Thesa sedang ... menyombongkan diri in another way? Kenapa? Ayolah, tanpa begini pun, Shania tahu gadis itu berbakat di segala bidang. Bersikap anggun, elegan, tenang, seolah tak terjadi apa-apa, tetapi tepat menyudutkan Shania.

Sungguh hebat gadis itu, melumpuhkan tanpa perlu turun tangan. Dia kira, inilah yang biasa orang-orang sebut sebagai membunuh tanpa menyentuh. Benar, 'kan?

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Fiuh, akhirnya aku putusin buat lanjut WAIVE, semoga konsisten meski ngaret, ya. Semoga lagi ini bukan jalan yang salah.

Lupakan soal problem kemarin, jadi ... gimana part ini?

Wah, enggak kerasa udah part 30 aja, ada kesan dan pesan mungkin buat WAIVE ke depannya?

Oh, iya, jangan lupa baca cerita aku yang lain, ada FAMQUITE genre fantasi-misteri, HELL genre thriller, dan MIRAGE genre teenfiction. Happy reading UwU.

TTD,
Pecinta husbando 2D,
m

aylinss_

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang