Dua Puluh Tujuh

89 23 37
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

"Lalu, ini ... salah siapa?"

***

Jadi, kemarin Thesa sengaja mengundangnya untuk ... dipermalukan? Kalau salah, lalu katakan apa yang benar. Apa tujuan gadis itu mengajak Shania ke rumahnya? Thesa tahu sendiri bahwa itu adalah acara reuni kelas 10 IPA 1, tetapi mengapa masih saja mengundangnya yang tidak kenal siapa pun?

Cih, palsu sekali senyuman Thesa malam ini. Ingin rasanya Shania berteriak di depan wajah gadis jelita itu, tetapi sayang, dia hanya adik kelas.

Shania mengusap wajahnya kencang, tak peduli hal tersebut akan membuat beberapa riasannya kacau. Duduk sendiri di trotoar, menikmati pandangan aneh yang didapat dari orang lewat. Dia tidak peduli.

Hatinya sedang gundah. Shania sendiri sampai bingung, sebenarnya apa yang sedang dia rasakan? Sedih? Marah? Sakit? Malu?

Mungkin besok di sekolah dia akan menjadi bahan perbincangan satu sekolah karena hal ini. Makin tidak nyaman saja hidup Shania. Padahal sebelumnya, dia aman-aman saja. Bermain ke perpustakaan, makan biskuit sambil membaca novel di kelas.

Ah, ngomong-ngomong soal biskuit, dia lupa belum membuat kue kering untuk dijual pada ... ibu Redaf. Shania menggeleng, dia tak ingin bertemu lelaki itu dahulu, tidak apa-apa, 'kan?

Kira-kira sudah setengah jam gadis berponi kepang tersebut duduk di pinggir jalan. Sampai sebuah lampu motor menyilaukan matanya, membuat dia menghalangi cahaya dengan kedua tangan.

Entah siapa itu, yang jelas dia turun dari motor, menghampiri Shania yang masih menyesuaikan diri. "Pesta jalanan?"

Shania mendongak, menatap Reza yang baru saja melepas helm. Meski ucapannya menyebalkan, dia enggan menanggapi, malas. Gadis itu kembali tenang seperti semula. 

Tanpa izin Reza duduk di samping Shania sambil berkata, "Udah gue duga kalo kadar ketololan lo itu di atas rata-rata." Hanya lirikan kecil yang didapat Reza dari adik kelasnya. "Lo dateng ke rumah Thesa, 'kan? Stupid."

Kali ini kepala Shania tertoleh. "Kok tau?"

Bahu Reza terangkat sekilas. Dia meletakkan helm di pangkuannya. "Gue juga diundang."

"Eh? Kenapa enggak dateng?" tnaya Shania heran.

Sejenak Reza tatap jalanan di depannya yang cukup ramai. Mobil beserta sepeda motor terlihat balapan dengan garis finis pada tujuan masing-masing. "Enggak mau aja. Gue udah paham sifat dia."

"Sifat yang ...."

"Suka ngejatuhin harga diri orang lain di depan khalayak," sahutnya.

Shania segera bertanya, "Kak Reza pernah?"

Senyum culas tercetak di bibir Reza. Tatapannya menajam pada gantungan kunci motornya. "Sering."

Gadis bergaun itu tertegun. Reza saja yang sahabatnya saja sering, apalagi ... dia? Shania bergidik. Jangan sampai masuk ke jebakan Thesa lagi. Ketika kepalanya penuh akan nama tersebut, ponsel yang ada di tas selempangnya bergetar.

Bang Nikooo

Gue udah minta tolong Redaf buat anter lo, pulang sama dia, ya, biar mama enggak khawatir.

Pupil mata Shania membulat. Tidak! Barusan yang dia baca adalah pesan petaka! Tidak ingin membalas, gadis itu justru menelepon kakaknya.

"Bang Niko!" seru Shania langsung.

"Waalaikumussalam, Dek."

Shania menghela napas. "Assalamualaikum. Bang, kok gue pulang sama Kak Redaf, sih?!" protesnya.

Reza langsung melirik ke Shania yang mencak-mencak. Dia merasa familier dengan nama yang disebut adik kelasnya itu.

"Udah, nurut sama mama aja."

"Ah, Bang Niko enggak bala!" Gadis tersebut matikan sepihak telepon, lalu menelungkupkan kepalanya.

Reza hanya diam sambil memperhatikan penampilan Shania dengan saksama. Sepatu pantofel berwarna biru gerau terlihat padu bersama gaun biru jelak yang dikenakan. Model rambut gerai dengan anak rambut dikepang membuatnya terlihat ... ehm, cantik.

"Kenapa liatin gue kayak gitu, Kak?"

Pertanyaan Shania membuat Reza seketika berdeham. Dia mengalihkan pandangan ke jalanan ramai. "Kenapa lo dandan segitunya buat dateng ke undangan Thesa?"

Shania tersenyum tipis. "Ini pertama kali ada yang undang gue ke acara kayak gini, Kak. Seneng sebenernya, meski enggak tau apa isi acara itu, tapi kayaknya gue salah, deh," ujarnya, "atau mungkin cuma gue yang suuzan ke Kak Thesa. Soalnya, dia selalu senyum ramah dan menyapa riang."

Reza tahu Shania polos—agak bego—, tetapi dia tak habis pikir, kenapa sempat-sempatnya adik kelas itu menyalahkan diri? Dia sontak menggeleng. "Jangan suka nyalahin diri lo atas kesalahan orang lain."

"Lalu, ini ... salah siapa?"

Tiada yang dapat menjawab pertanyaan lugu itu. Dengan raut kucing memelas, Shania layangkan kalimat yang sejak lama dia pendam. Reza pun terdiam.

"Udah janjiannya?"

Sebuah suara mengagetkan Reza dan Shania yang semula mematung. Redaf berjalan dari belakang, menyelipkan kunci mobilnya di telunjuk kiri. Shania menunduk, tidak ingin menatap Redaf.

"Ngapain lo di sini?" tanya Reza tak suka.

Reza berdiri di sebelah Shania. "Jemput Shania janjian, terus anter pulang. Ayo, Shan."

Mau tak mau, Shania berdiri, menatap jeri ke Reza, takut kalau ada sesi adu pukul karena masalah kecil. Ketika mereka sudah berjalan beberapa langkah, Redaf berkata, "Lain kali kalo kencan cari tempat, Bro."

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Uhuk, Redaf makin enggak tahu diri aja, nih ^^.

Fiuh, sejauh ini, cerita WAIVE itu gimana, si? T-T

Ayo, keluarin unek-uneknya, silakan~~~

Oiya, jangan lupa baca HELL di akun aku, udah selesai, kok, sambil tunggu Shania bolehlah baca :>

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang