Empat Puluh Satu

50 10 11
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

"Jangan curang, Nala! Gue duluan yang sampe!" teriak Shania di gerbang.

Nala terus berlari masuk ke rumah. "SHANIA WAJIB BIKIN TEH! GUE MANDI DULU, BYE!"

Melihat adik kelasnya mencebik, Reza bertanya, "Kenapa lo?"

Shania menoleh. "Udah, Kak Reza pulang aja. Hati-hati di jalan. Makasih permen karetnya."

Tersinggung karena pertanyaannya dibalas usiran, Reza merengut. "Awas aja lo," sungutnya, "gue balik dulu. Dah, Anak Kucing."

Belum sempat menjawab, Reza sudah melesat dengan motornya. Shania segera menutup gerbang, berlari mengejar Nala. "JANGAN CURANG, NALAAAA!"

Jadi, tadi Shania dan Reza sudah sampai di depan rumah. Ada perbincangan sedikit sembari Shania melepas helm. Di saat yang bersamaan, Nala tiba dengan ojek online, buru-buru melepas helm dan berlari masuk ke rumah.

Gadis itu membayar ojek pakai metode cashless. Jadilah Shania merasa dicurangi, padahal itu salahnya sendiri tidak bisa membuka kaitan helm. Namun, bukan Shania kalau mudah mengalah.

***

"Sini, sini, Tayangku, tehnya taroh di meja aja," ledek Nala.

Shania mendengkus. "Tayang-tayang," sahutnya sinis.

Meski begitu, tetap saja Shania letakkan nampan berisi dua cangkir, satu teko, dan satu stoples biskuit di nakas. Dia duduk di samping Nala yang sedang mencari film. Gadis itu mengutak-atik remote, kemudian tampilan televisi yang ada di kamar Shania berubah.

"Ih, masa mau nonton yang kemarin itu?" tanya Shania.

Tanpa menoleh sedikit pun, Nala menyahut, "Ya iyalah! Gue skip dari adegan yang kelewat aja kok. Paling satu jam lagi."

Merasa tidak dapat mendebat karena memang kemarin adalah salahnya, Shania mengalah. Dia fokus pada teh sekarang. Tak lupa mengambil biskuit Snickerdoodles buatannya.

Gigitan pertama, Shania berseru tertahan. Agak menyesal mengapa kemarin tidak mencicipi satu biskuit yang masih hangat. "Nala, Nala! Ini enak!"

Perhatian Nala terpecah. Dia melirik Shania. "Woah, mau!"

Akhirnya film terpaksa dihentikan dahulu. Mereka sibuk makan biskuit dengan teh hangat. Hujan deras menambah suasana syahdu.

Shania memejamkan mata, menyesap teh pelan-pelan, meresapi suara hujan di gendang telinga. Tanpa sadar, kepalanya sudah bersandar pada bahu Nala. "Gue bingung, Nal."

Yang dipanggil mengernyit. "Kenapa?" Otaknya berpikir cepat. Kemudian, dia melanjutkan ucapannya. "Oh! Lo tadi pergi sama Kak Reza ke mana? Ngapain aja? Udah jadian? Uwooo, mau ditraktir!"

Pelan, Shania menabok lengan Nala. "Ngaco. Mana ada gitu."

Merengutlah Nala mendengarnya. "Yah, penonton kecewa. Terus ngapain bingung lo?"

Cukup sangsi sebelum bicara, Shania menghela napas. "Kak Reza cerita tentang dia, Kak Redaf, dan Kak Thesa. Gila. Mind-blowing banget. Gue percaya Kak Reza enggak bakal bohong, tapi ...."

Nala mengangguk, seperti paham. "Enggak perlu cerita ke gue tentang itu. Cukup curahin perasaan lo aja."

"Udahlah lupain aja. Ada yang lebih penting."

Kali ini raut penasaran tidak dapat disembunyikan Nala. "Apa? Apa? Apaaa?"

Shania meletakkan cangkir, menutup wajah menggunakan tangannya sendiri. "Huaaa, gue malu, Nal, tolol banget!"

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang