***
"Nala ...."
Sumpah, lebih baik Nala bernyanyi sampai tenggorokannya sakit seperti tadi daripada menghadapi Shania yang begini. Dia menghela napas, duduk di samping sahabatnya. Mendadak kamar Shania lebih pengap.
Nala mendekap Shania. Membiarkan piamanya basah oleh tangis. Bukankah lebih baik jika sejak awal tidak perlu mengenal cinta kalau berakhir seperti ini?
"K-Kak Re-Redaf cuma ... gue ... apa salah gue, Nala?"
Mendengar ucapan Shania yang terbata dan tidak jelas, Nala berkata, "Udah, nangis dulu. Jelasinnya nanti aja. Kalau enggak mau bahas, jangan kasih tau gue, oke?"
Sepuluh menit Nala sibuk menepuk-nepuk kepala Shania pelan tanpa berucap apa pun. Menasihati orang patah hati adalah hal yang sia-sia. Menurut Nala begitu. Lihat saja Shania, lebih tenang ketika Nala hanya diam.
Seperti teringat sesuatu, Shania seketika duduk tegap. Dia beranjak ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan mengikat rambut. Nala yang cukup terkejut bertanya, "Mau ngapain?"
"Untuk kali pertama, gue bakal baca ending novel 'LOST' itu."
"Yakin?" Pertanyaan Nala dijawab aksi. Shania duduk di meja belajar setelah meraih novel tebal yang disebut. "Gue di sini, ya. Jangan nangis sendirian. Selamat membaca," ucap Nala.
Ini di luar kebiasaan Shania. Membaca kisah sampai resolusi. Jantungnya berdegup, tidak siap dengan kejutan yang disiapkan sang penulis.
Lamat sekali Shania baca tiap halamannya. Dia hayati betul kata demi kata. Kadang tertawa, tetapi tak jarang hampir meneteskan air mata.
Dua jam berlalu. Nala tidak tenang menggulir layar di aplikasi Instagram. Sejak tadi dia curi lirik ke arah sahabatnya yang tidak bergerak. Dia bahkan tak tahu apa yang terjadi pada Shania. Namun, ini bukan saatnya menuntaskan rasa penasaran.
Nala terkejut kala tiba-tiba Shania menutup novel dengan kencang, kemudian berjalan ke arahnya. Shania letakkan kacamata di nakas, duduk sambil menenggelamkaj wajah di antara lutut. "Bener kata lo, Nal. Ending novel itu adalah ending kisah gue."
"Sh--"
Shania mendongak, tersenyum. "Thanks, gue tidur dulu."
Mau tidak mau, Nala hanya mengangguk. Dia menggantikan nyala lampu utama dengan lampu tidur. Setelah memastikan Shania benar-benar terlelap, Nala mendekat ke meja belajar. Membuka novel tadi.
Tanpa lama, langsung saja Nala buka bab paling akhir. Judulnya saja sudah membuat gadis itu teguk ludah.
In The Last, She Lost
Hidup tidak selalu ada di pihak kita. Harapan selalu jadi harapan. Tidak ada kata "terwujud" atau "terkabul". Sayang, manusia sangat bergantung dengan hal satu itu.
Kenyataannya, tokoh utama novel ini tetap kehilangan sang pujaan hati. Mengapa? Sebab dia terlalu menggantungkan harapan pada kekasihnya.
Mungkin, Anda yang sedang membaca bab terakhir di buku ini sedang merasa begitu. Sebenarnya, salah siapa? Tidak ada. Permainan takdir hadir bukan untuk disalahkan.
Di lembar halaman yang sebentar lagi habis ini, saya sebagai penulis ingin mengatakan sederet paragraf. Dibaca baik-baik, ya.
Apakah kamu manusia yang selalu mengharap happy ending seperti kartun? Jikalau iya, saya tebak Anda sedang bimbang dengan perasaan sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
WAIVE
Teen FictionOn going. *** Shania Tsabita adalah gadis imut berlesung pipi yang sering dibilang nolep oleh sahabatnya. Hobi membaca novel dan membuat kudapan manis. Karena sering larut dalam kisah fiksi yang kerap dia baca, Shania berharap kehidupannya akan ber...