Empat Puluh

50 14 10
                                    

Happy reading!❤️
Sori kalo ada typo, author masih noob.

***

Jam dinding elegan di sebuah restoran kelas atas tampak menunjukkan pukul delapan malam. Dua sejoli yang memesan meja paling dekat dengan jendela itu memakai pakaian cukup formal. Keduanya saling tatap dengan pandangan sulit diartikan.

Redaf cukup menawan dengan kemeja dan celana bahan. Sedangkan Thesa memakai gaun anggun dengan bagian lengan terbuka. Ini acara makan malam resmi, dirancang oleh kedua orang tua Thesa.

"Apa yang mereka harapkan dari makan malam ini, Sa?"

Thesa tersenyum manis. "Kita."

Baik, Redaf sudah tahu harus bagaimana bersikap. "Lo sendiri berharap kayak gitu?"

Anggukan kepala dari Thesa membuat Redaf menarik napas pelan. "Kenapa enggak, Red?"

"Lo udah punya pacar." Melihat Thesa hendak menyahut, Redaf segera melanjutkan ucapannya. "Jangan bohong, Sa. Gue tau. Michael, 'kan? It's OK kalo misal pacaran sama dia, tapi kenapa mesti bersikap kayak gini ke gue?"

Thesa masih tenang. Dia menyesal gelas berisi rum tanpa alkohol pelan. "Apa yang diharapkan dari bule yang cuma modal otak sama hati?"

Alis Redaf terangkat sebelah. Dia harus berhati-hati pada Thesa. Gadis itu sungguh berbahaya. "Apa maksudnya?

"Mike emang laki-laki cerdas dan penyayang. Tipikal gue banget." Thesa meletakkan gelas, bersedekap dada. "But sorry to say, gue enggak bisa pacaran gaya bocah lagi. Harus fokus ke masa depan juga. Hubungan itu jangka panjang, harus dilalui sama orang yang mapan. You know what I mean."

"Lo--"

Thesa memotong, "Terserah lo nyebut matre atau apa. Yang jelas, gue realistis. Rumah tangga modal cinta bisa apa?"

Redaf geleng-geleng kepala. "What the hell, Thesa. Kita masih SMA. Pikiran lo terlalu--"

"Enggak penting. Mike bakal gue putusin besok pas gue ke Inggris."

Bahu Redaf menurun. Sorot tidak percaya dia layangkan. "Lo gampang banget mutusin hubungan, ya."

Thesa menumpukan kaki kanan ke bagian kiri. Duduk elegan dan tenang. Tidak terusik, padahal Redaf sudah tidak terkendali.

"Lusa gue balik. Malam ini kita harus saling jujur," kata Thesa.

Redaf memang masih menyimpan rasa pada Thesa, tetapi mendengar kalimat barusan, dia ragu. Apa saja yang Thesa sembunyikan? Lelaki itu mengiakan ucapan lawan bicaranya.

"Dimulai dari lo, Red."

Baik, inilah saatnya. Redaf bertanya, "Apa alasan lo mutusin gue?"

"Bosen." Singkat, padat, cepat. Tanpa basa-basi dan menohok. Redaf masih coba mencerna jawaban Thesa sampai gadis itu jengah. "Kita terlalu flat, Red. Gue berharap lebih. Perlu obrolan lebih berpengetahuan."

Redaf masih ingin menyangkal. Dia kembali unjuk bicara. "Kita udah pacaran bertahun-tahun, kenapa--"

"Lo terlalu mudah dimanfaatkan. Enggak menantang. Gue nyesel kenapa enggak pacaran sama saudara jauh gue itu, Reza."

Tangan Redaf terkepal di bawah meja. "Lo gila."

Thesa mengangguk, rambut bergelombangnya tergoyang. "Udah tau. O, iya. Gue mau jujur juga. Tadi, tentang Mike itu bohong. Gue enggak bakal putusin dia."

"Apa lagi? Jujur tanpa ditanya coba, Sa. Gue enggak tau lo bohong tentang apa aja," tukas Redaf. Dia sesap juga minuman di hadapannya.

Gadis bergaun ungu itu memutar-mutar ponsel. Pandangannya lurus pada Redaf. "Gimana, ya. Dulu gue emang tergila-gila sama lo. Secara Redaf itu ganteng, kaya, baik hati juga. Bertahun-tahun, okelah. Makin lama, gue bosen sama lo. Hal lumrah di hubungan, 'kan? Terus, gue minta pindah ke Inggris. Di sana pendidikannya lebih bagus juga. Sampai ketemu Mike. Dia genius, keren pokoknya."

Jutaan samurai tertancap di jantung Redaf saat ini. Sama sekali tidak berdarah. Ajaib. Lelaki itu membuang pandangan ke jendela.

"Terus kenapa lo pulang ke Indonesia? Ngapain chat, video call, ngajak jalan, sampai balikan, Sa?" tanya Redaf, "makan malam ini apa artinya? Buat apa?"

Thesa melambaikan tangan pada salah satu waiter. Setelah membisikkan sesuatu, pelayan perempuan itu pergi. "Sampai lupa makan, Red. Terlalu asyik ngobrol kita."

Lelaki berambut cepak itu mendengkus. Sial. Thesa terlalu membuang waktu. Namun, biarlah. Redaf akan mengikuti alur cerita.

Usai makan malam, keduanya enyah dari restoran tersebut. Berhenti di pinggir jalan lumayan minim kendaraan, tetapi anehnya keadaan sekitar ramai. Beberapa sedang mengantre di tenda nasi goreng.

Redaf mematikan mesin mobil dan membuka jendela. Tidak ingin menimbulkan fitnah masyarakat. Kalau perlu dia turun, membeli seporsi nasi goreng. Namun, sepertinya tidak bisa karena dia dan Thesa sama-sama sudah makan.

"Jawab, Sa," kata Redaf lugas.

Thesa memainkan rambut. "Dua belas tahun gue bareng sama lo. Kenal dan hafal semua kebiasaan seorang Redaffa Lazuardi. Meski bosen, gue udah terikat sama lo. Semuanya beda tanpa kehadiran cowok penyuka warna merah.

"Video call, chat, sampai gue belain ke Indonesia dan ambil izin seminggu, demi lo doang. Mau enggak mau, gue harus akui lo berharga. Sebagai apa pun itu. Sahabat, pacar, mantan, whatever. Gue enggak mau kehilangan lo sebagai sahabat. Cukup Reza, lo jangan."

Hati yang semula mulai tergerak membisu kembali setelah mendengar nama Reza. Redaf mendecih. "Gue muak denger nama itu."

Thesa menoleh. "Reza enggak pernah salah."

"Lo--"

"Iya. Lo yang cemburu buta," potong Thesa, "karena ini Malam Kejujuran, gue harus ngomong tentang itu juga. Red, tau sesuatu?"

Masih menahan kesal dan segala perasaan campur aduk di dada, Redaf bertanya, "Apa?"

"Lo yang hancurin persahabatan kita. Berkat lo, VALACY hanya tinggal nama. Kalo dipikir, yang paling beban circle adalah lo. Reza jelas jadi back up kenakalan kita, mau disuruh-suruh. Gue pinter, sering kasih sontekan ke lo berdua. Lo?" Thesa mendekat, berbisik tepat di telinga Redaf. "Redaf itu cuma modal omongan, tampang, dan duit orang tua."

Setelahnya, Thesa kembali ke posisi semula. Membiarkan sunyi menyebar bagai wabah di mobil merah tersebut. Tinggallah Redaf di ruang hampa kepalanya.

Dia ingin memukul sesuatu, tetapi apa? Ingin menyalahkan seseorang, tetapi siapa? Ingin mencari alibi, tetapi bagaimana?

Redaf hanya dapat mencengkeram kemudi. Menahan gejolak dan badai perasaan dalam kepala dan hati. Dia tidak terima ini. Harga dirinya diinjak begitu saja oleh perempuan yang sangat dia cintai.

Lelaki itu melirik ke kiri, Thesa tersenyum ke arahnya. Cantik, tetapi iblis. Sumpah serapah mencuat dari lidah diamnya yang gatal ingin bergerak.

Thesa tiba-tiba berkata, "Gue capek kita main lakon. Penawaran terakhir, mau perbaiki persahabatan kita? VALACY hidup lagi?"

***

AN:

Alohalo! Apa kabar?

Aku kelupaan mau update WAIVE, eheheh. Thesa kembaliiii, bagaimana? Mantap sekali, ya :D

TTD,
Pecinta husbando 2D,
maylinss_

WAIVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang