Suasana pojok kota yang mulai sepi. Waktu sore adalah waktu bagi para warga untuk kembali ke rumah masing-masing setelah cukup lelah beraktivitas satu hari itu, bekerja, bersekolah, dan berdagang bagi para pemilik toko. Hanya satu dua orang yang nampak masih sibuk di rukonya untuk membersihkan sisa-sisa pengunjung yang datang. Di ruko para borjuis, nampak robot-robot pintar tengah melaksanakan tugasnya dengan baik, bekerja otomatis membereskan segala hal di ruko pemiliknya.
Di tepi jalan pun demikian, robot yang digerakkan menjadi pelayan para pengguna tengah antusias memancarkan sinar aktifnya, meskipun di waktu ini, hanya ada satu dua orang yang berjalan kaki melintas. Ada robot pengatur sistem parkir, kendaraan autopilot layaknya becak modern yang siap mengantar para pedestrian ke tujuan jika lelah berjalan, pemandangan robot cerdas pelayan toko yang saat ini sedang menutup otomatis tirai-tirai toko, dan lain sebagainya.
Pemandangan itu terasa damai di hati, robot-robot itu sudah seperti teman yang memiliki empati dan perasaan kepada siapa saja yang melintas atau sedang bercakap-cakap dengannya. Perkembangan yang sangat pesat. Lelaki tua itu berjalan tenang melewati trotoar yang mulai dihinggapi sepi dan tersenyum. Sudah begitu lama ia tinggal di sini sebelum ia pergi. Sejak ia masih berumur lima tahun. Menghadapi dunia yang penuh ingar bingar teknologi sekarang ini membuat perasaannya campur aduk.
Masih diingatnya dahulu ketika kawasan ini masihlah kumuh karena berada di sudut kota. Jalanan yang becek, rumah-rumah sederhana, dan orang-orangnya yang bersahaja. Semua tampak indah dipandang, sebelum badai teknologi menyulap segala hal menjadi tampak gemerlap. Bahkan untuk tatanan kota dan segala hal tentang tanah pun diatur oleh teknologi. Entah bagaimana Kaysen belajar, sehingga pandangan masyarakat dahulu yang menyatakan bahwa kehidupan robotik amat merusak ternyata bisa diubahnya seratus persen menjadi kehidupan robotik yang sangat menyenangkan, menenangkan dan bersahabat.
Walaupun kenyataannya, di balik gemerlap Win Thousand sebagai penguasa dan penyedia semua teknologi dunia itu menghadapi gejolak dan persoalan yang tidak mudah. Ada saja sekelompok orang lebih-lebih saingan perusahaannya yang beragak-agak menghancurkan. Melakukan segala cara untuk menjatuhkan.
Lelaki tadi terkesiap begitu ada yang menyapa. Ah, ternyata salah satu ojek autopilot yang menawarkan tumpangan. Dengan tersenyum, seolah alat elektronik itu mengerti pada ekspresinya, dia menolak dengan halus melalui gerakan telapak tangan ke depan pertanda penolakan. Dia lebih memilih berjalan seperti ini saja, hitung-hitung berolahraga ringan karena tempat tujuannya pun sudah tidak jauh dari tempatnya melangkah saat ini.
Setelah beberapa langkah dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa seseorang yang ia hendak tuju tengah berada di depan kafe, lelaki itu bergegas mempercepat langkah, tidak sabar untuk segera bertemu. Perempuan itu sepertinya tengah mengantar kepergian tamu terakhirnya karena lelaki itu paham sekali bahwa ada jeda satu jam sebelum kafe itu buka kembali nanti setelah senja berakhir, ketika para pekerja malam mulai berangkat bekerja.
Dengan penuh percaya diri, lupa bahwa pastilah kini perempuan itu tidak mengenalinya, dia tersenyum dengan ramahnya dan hendak menyiapkan kata ketika kemudian wanita itu menunduk hormat dan meminta maaf. “Anda bisa datang kembali petang nanti, Tuan. Saya akan membuka kafe ini lagi setelah malam hari,” ucapnya ramah.
Kata-kata perempuan itu membuatnya mengangkat kedua alis untuk langsung paham bahwa ia tidak dikenali.
“Timmy ….” Lelaki bermantel cokelat itu menyapa.
Wanita itu terkejut dan langsung menatap laki-laki di depannya dengan kening berkerut dan mengurungkan niat untuk melangkah masuk ke dalam kafe dan kembali berdiri lurus menghadap tamu yang terlambat datang itu. Suaranya sangat tidak asing di telinga. Dan kedua matanya itu … mengingatkan Timmy pada seseorang yang sepertinya begitu akrab bagi dirinya, tetapi ia kesulitan mengingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romance"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...