Kaysen berjalan cepat setelah keluar dari lift. Begitu menerima kabar dari Reiga tentang keadaan Celosia saat ini, lelaki itu tak membuang waktu dan segera terbang menuju gedung pusat Win Thousand, kembali mengunjungi ruang perawatan gadis itu. Reiga yang berjalan mengekor di belakang tampak tegang, melihat ekspresi tuannya yang saat ini tak terbaca. Entah dari mana perginya Kaysen, sehingga kepulangannya kali ini membawa wajah murung. Belum lagi acara konferensi yang akan diadakan dua jam lagi. Apakah tuannya itu benar-benar bersedia hadir dengan segala jawaban yang bisa melegakan hati semua pengguna?
“Kau boleh pergi.” Kaysen menghentikan langkah, masih berdiri membelakangi Reiga yang sepertinya tengah tidak berkonsentrasi hingga mengikuti langkahnya sampai ke dalam ruangan.
Reiga yang mendapat pengusiran secara halus itu pun menunduk malu dan tentu saja lekas berpamitan dengan penuh penghormatan. “Maaf, Tuan. Saya permisi,” ucapnya diiringi langkah mundur dan segera menutup kembali pintu di belakangnya dengan rapat.
Perhatian Kaysen kini terpusat sepenuhnya ke Celosia yang masih terbaring lemah di peraduan. Keningnya mengernyit setelah menilai sekilas keadaan perempuan itu. Benarkah tadi gadis itu sempat menunjukkan perubahan? Mengapa saat ini seolah masih sama dengan terakhir kali lelaki itu menengoknya?
Kaysen membuang napas lelah dan melangkah menghampiri kursi yang tersedia di sebelah ranjang, mengempaskan tubuhnya di sana dengan kedua siku bertumpu di atas kasur. Mengamati setiap helaan napas perempuan itu yang nampak teratur.
“Celosia … bangunlah.” Kaysen berucap serak. “Harus sampai kapan aku menunggu?” ucapnya lagi dengan sebelah tangannya terulur ke depan, tanpa ragu lagi mengusap dengan lembut rambut Celosia yang tergerai.
Dalam mimpi gelapnya Celosia tersentak. Kebingungan kembali menderanya. Kali ini suara yang sama dengan aksen suara yang terakhir kali ia kenali, menyapa. Suara laki-laki. Apakah itu dia? Perempuan itu merasakan gemuruh sesak menyumpal penuh di dada atas ketidakbisaan yang menimpanya. Ia tidak tahu bagaimana agar bisa menggapai terang.
“Celosia ….”
Oh, Celosia tidak tahan lagi. Gadis itu putus asa hingga yang bisa ia lakukan saat ini adalah meratap. Ia bahagia walaupun tidak mengerti dan sedih pula dalam waktu bersamaan. Tanpa terasa, kristal air mata itu meluncur lagi dari kedua netranya yang masih memejam. Celosia menangis.
Kaysen terbeliak. Jantungnya berdetak kencang ketika melihat dengan nyata bahwa perempuan itu mengeluarkan air mata.
“Celosia … sadarlah.” Lelaki itu menyentuh tangan mungil Celosia, menggenggamnya sejenak dan tak tahan untuk tak mencium punggung tangan perempuan itu sembari memejamkan mata. Kaysen menggenggam semakin erat, seolah hendak memberikan daya kekuatan tubuhnya pada Celosia yang kini tak berdaya. Beberapa detik tak ada pergerakan dari keduanya, terlebih perempuan itu yang sama sekali tak memberi respon apapun.
Lelaki itu membuka mata dengan berat. Satu tangannya mengusap sisi pipi Celosia yang basah. Bayang-bayang kehidupan masa lalu di rumah kecil tepi danau itu hidup kembali di depan mata Kaysen. Melihat bagaimana cerianya gadis itu bersama kedua orang tuanya, sebelum lubang gelap ini membawanya ke kehidupan yang penuh air mata seperti sekarang.
“Maafkan aku, Losia,” ucapnya dengan parau sembari mendengus.
Bunyi alat komunikasi yang berdering dari arah pergelangan tangan menjeda aktivitasnya sejenak. Kaysen mau tak mau melihat apa dan siapa yang mengganggunya itu. Sebuah file lampiran dari profesor Efron. Dengan malas Kaysen hendak mengabaikan, tetapi ketika matanya yang teliti melihat nama Celosia dalam berkas tersebut, lelaki itu langsung membukanya.
Ada banyak sekali tulisan di sana. Kaysen membaca cepat dan alisnya mengerut ketika membaca hasil identifikasi dari kristal air mata gadis itu. Celosia bersedih. Hasil pemeriksaan menunjukkan bentuk gambar batang sel yang cukup besar. Sehingga tidak salah lagi, entah sedang terbawa oleh perasaan ataukah mimpi-mipi yang dilihatnya, gadis itu mengeluarkan air mata sebagai bentuk pengekspresian perasaan kesedihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]
Romansa"Kaysen, kau sedang apa?" Dari balik layar tipis itu, Kaysen tampak mengalihkan pandangan kepada Celosia yang datang membawa tanya, memasuki ruangan dan melangkah perlahan mendekatinya. Lelaki itu tersenyum hangat lalu bertopang dagu dengan kedua ta...