Bab 22 - Rasa yang Sempurna

22 6 2
                                    

“Cintai aku, Celosia.”

Perempuan itu terkesima mendengar kalimat tersebut. Celosia tak menyangka Kaysen akan berkata demikian. Biasanya, dalam mengungkapkan perasaan, seseorang akan mengatakan “Aku mencintaimu”, tetapi kondisi istimewa mereka membuat keadaan menjadi terbalik-balik. Gadis itu belum menyelami benar bagaimana sebenarnya perasaan yang ada di hatinya saat ini, sementara lelaki itu menuntutnya untuk memiliki perasaan padanya, seolah hal itu adalah suatu keharusan.

Lelaki itu mengecup punggung jemari Celosia selama beberapa detik, membuat gadis itu merasakan getaran aneh dari kecupan bibir Kaysen yang hangat.

Suara derapan air hujan yang menghantam permukaan apa saja di atas tanah terdengar nyaring kemudian. Airnya bertempias hingga tempat duduk Kaysen dan Celosia saat ini, meniup-niupkan udara dinginnya yang lembut mengecupi kulit. Keduanya menoleh bersamaan ketika pintu balkon itu menutup otomatis untuk menghalau agar air hujan tak membasahi mereka.

“Apa kita melalui masa lalu yang baik ... atau buruk?” Dengan spontan Celosia menyuarakan pertanyaannya.

Kaysen mencium punggung jemari gadis itu sekali lagi sebelum menggenggamnya erat. Lelaki itu lalu menyunggingkan senyum penuh ironi dan berkata,

“Masa buruk yang begitu lama, Gadis Manis.” Lelaki itu mengusap pipi Celosia dan memperhatikan wajahnya lamat-lamat. “Sampai aku lupa bagaimana berbahagia karena terlalu lama berangan-angan tentang kehadiranmu. Sekarang kau nyata bersamaku, Celosia, dan aku tak ingin kehilangan waktu lebih banyak lagi dengan menyia-nyiakan setiap detik kebersamaan ini,” ucapnya penuh kesungguhan.

Dahi Celosia berkerut tak mengerti, tapi ia tak berbohong jika hatinya tersentuh. Meskipun tingkah lelaki itu selalu saja seenaknya, perempuan itu merasa jika bersama lelaki ini, dirinya terlindungi. Terlebih lagi, apa yang ia harap-harapkan ketika pertama kali mengingat Kaysen? Tentu saja ia ingin bertemu dan menemukan rasa aman, sebab, ia begitu kehilangan arah dan tak tahu harus ke mana melangkah.

Mungkin sudah takdirnya ditempatkan di sini, bersama orang-orang yang sekarang ini telah membersamainya. Lagi pula, Kaysen sudah menunjukkan iktikad baiknya bukan, untuk akan membantunya menemukan kembali keluarganya? Permintaan Kaysen bukanlah permintaan yang berat. Tanpa diminta saja, Celosia pasti akan mengasihi lelaki itu karena telah menjaminnya.

Celosia menyimpulkan senyum sedih. Entah apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Namun, melihat ucapan Kaysen, sepertinya mereka pernah berpisah dalam waktu lama dan lelaki itu terlihat begitu putus asa untuk meminta Celosia kembali. “Maafkan aku.” Perempuan itu menghela napas dalam.

“Maaf seandainya aku telah berbuat sesuatu yang tak seharusnya. Maaf ... maaf karena aku melupakanmu.” Celosia terbata-bata berkata, kepalanya menunduk. Tak kuasa bertatap mata dengan Kaysen yang juga tengah bersedu sedan.

Kaysen melepas pertautan tangannya lantas menangkup pipi Celosia lembut, menengadahkan wajah perempuan itu sehingga keduanya saling bersitatap.

“Tidak ada yang salah denganmu. Akulah yang bodoh karena termakan kebencian sehingga tak bisa melihat segala sesuatunya dengan jernih. Aku mengabaikan banyak hal baik yang seharusnya sudah kupeluk sejak lama. Aku mengabaikan kebaikan ayahmu, dan aku ... tak mengacuhkanmu, padahal kaulah yang selama ini kucari.”

Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya terasa kering dan panas karena air mata hampir naik ke kelopak.

“Ah, Celosia, sepertinya aku harus menganulir kata-kataku tadi.” Kaysen mendecak dengan terus menatap kedua mata Celosia berganti-ganti.

Celosia mengangkat kedua alis dengan ekspresi penuh ingin tahu. Rona merah semakin menyemburat meski wajahnya kaku karena tangan Kaysen masih tertangkup di kedua sisi wajahnya. Kedua mata biru itu tak berkedip seolah takut jika gadis itu sampai hilang dalam sekejapan.

THE HEART (The Perfect Feeling) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang